Diposkan pada Gifted

Quote tentang Anak Gifted

The difficulty with highly gifted students in school may be summarized in three words:
THEY DON’T FIT

(Stephanie S. Toolan)

°°°

Quote tersebut sederhana sekali bila ditulis dalam bahasa Inggris tapi susah nerjemahinnya ke bahasa Indonesia. Bagiku itu ya… 😀. Perlu penjelasan panjang lebar untuk kata-kata yang tampaknya simpel soalnya.

Untuk gifted, teman-teman sudah tau kan… Ini istilah bahasa Inggris untuk individu yang ‘jenius’ di mata banyak orang awam. Tapi sebenarnya jenius itu sendiri terlalu spesifik. Yang sesungguhnya, jenius akan dicapai bila individu gifted sudah menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak.

Dalam bahasa Indonesia, sekitar 20 tahunan yang lalu istilah gifted diterjemahkan sebagai ‘berbakat’. Jadi anak-anak gifted dikenal sebagai anak-anak berbakat. Istilah ini sedikit rancu dengan label ‘berbakat’ pada seseorang yang memiliki bakat khusus macam olah raga, seni, atau lainnya. Padahal berbakat yang itu bahasa Inggrisnya malah ‘talented’.

Aku kurang bisa melacak sejak kapan istilah gifted di Indonesia berubah menjadi ‘cerdas istimewa’ bukan ‘berbakat’ lagi. Nampaknya antara tahun 2002-2008. Istilah ini tidak berdiri sendiri, melainkan digandengkan dengan istilah ‘berbakat istimewa’. Jadi lengkapnya: cerdas istimewa-berbakat istimewa (disingkat CI-BI) ~ sebagai terjemahan dari ‘gifted-talented’. Di Undang-undang hingga kini istilah cerdas istimewa-berbakat istimewa masih dipakai.

Untuk mengetahui apakah seseorang itu gifted atau tidak diperlukan pengukuran dengan suatu instrumen. Dari situ akan didapat skor IQ seseorang. Untuk yang memakai instrumen Wechsler (baik WISC maupun WAIS), seseorang akan masuk dalam kategori gifted bila mencapai score minimal 130. Sementara kalau memakai Stanford Binet score minimalnya adalah 140.

Untuk score Binet ini sebenarnya bila memakai instrumen terbaru batasan untuk gifted sudah disamakan dengan Wechsler, yaitu 130. Tapi instrumen yang beredar di Indonesia masih versi yang lama, dengan batasan minimal 140. CMIIW.

Sebenarnya masalah per-score-an ini tidak saklek begitu. Pada anak-anak gifted yang terlambat bicara, diagnosis sulit ditegakkan bila hanya melihat score saja. Ini karena pada umumnya untuk respon pada kategori verbal mereka menunjukkan score sangat-sangat rendah sementara untuk kategori performance mereka menunjukkan score yang sangat tinggi. Njomplang sekali sehingga tidak pas bila hanya dirata-ratakan. Perlu ada pengamatan yang mendalam terhadap anak itu, disertai dengan wawancara yang mendalam juga.

Oh ya, yang berhak memberikan diagnosis gifted ini hanyalah psikolog klinis. Jadi kalau teman-teman curiga apakah anak/kerabat dekatnya gifted atau nggak, kalian bisa melakukan konsultasi pada psikolog klinis. Bukan sembarang psikolog klinis, melainkan mereka yang sudah mempelajari dan memahami tentang gifted. Ini terutama untuk anak-anak gifted yang terlambat bicara. Soalnya ketika psikolognya tidak begitu memahami, diagnosis yang keluar seringkali tidak sesuai. Ada teman yang anaknya mendapatkan berbagai jenis diagnosis: autis, asperger, ADHD, PDDNOS, (beda psikolog beda diagnosis) padahal ternyata gifted. Hasil yang terakhir didapat setelah dilakukan serangkaian pengamatan dan tes oleh psikolog yang benar-benar mendalami tentang anak gifted.

Baru ‘gifted’ saja sudah panjang ya…

Sekarang yang ‘highly gifted’.

Untuk istilah gifted sendiri ada beberapa pengelompokan. Para ahli merasa perlu mengelompokkan anak-anak gifted ini mengingat mereka menunjukkan karakteristik yang berbeda satu sama lain. Pengelompokan ini didasarkan pada urutan skor IQ:
130-144 gifted/moderately gifted
145-159 highly gifted
160-179 exceptionally gifted
180+ profoundly gifted

Semakin tinggi score IQ mereka, semakin banyak kompleksitas yang melekat pada diri mereka. Atau gampangannya gini, bila diijinkan memakai label ‘manis’ ya… (Sebenarnya nggak baik memakai-makaikan label pada anak. Tapi demi mentransferkan nilai rasa, aku pinjem dulu ya labelnya…) Di antara anak-anak gifted ini, semakin dekat ke angka 130, mereka semakin mendekati ‘manis’. Bisa membayangkan to… Jadi semakin tinggi semakin gimana? 😁 Ada yang bilang bahwa mengasuh 1 orang anak gifted berasa mengasuh 5 orang anak normal. Sabar ya Maaaakkk…

So, highly gifted terjemahannya apa dong? Nggak enak didenger kan kalau ‘cerdas istimewa tinggi’ atau ‘sangat cerdas istimewa’. Jadi yang kupakai adalah ‘cerdas istimewa kategori tinggi’. Sebenernya masih kurang sreg sih di kuping. Tapi yang penting kalian ngerti maksudnya kan…

Yang terakhir yang sulit diterjemahkan adalah kata ‘fit’ pada ‘THEY DON’T FIT’. Kata ‘fit’ menjadi sumber kesulitan di sini. Pasalnya, bila diterjemahkan dengan kata ‘klop’, ‘sesuai’, atau ‘cocok’, nilai rasanya kurang pas.

Terkait hal ini aku sampai konsultasi dengan temanku yang penerjemah profesional jebolan sastra Inggris di UK. Kebetulan temanku ini punya ABK juga, dan sering kucurhati tentang si Amas yang ndilalahnya ‘highly gifted’ dan mengalami ‘difficulty’ juga dalam masa-masa sekolahnya (ini quote kok pas banget sih sama Amas…). Jadi sedikit banyak dia tau situasinya.

“Iya, memang susah cari pasnya. Karena ‘they don’t fit’ itu kan dua arah, atau malah banyak arah dan melibatkan banyak issue dan faktor-faktor yang dihadapi individu gifted’,” demikian penjelasannya.

“Kalau hanya bilang tidak sesuai atau tidak cocok, maka kesannya ‘kesalahan’ hanya ada pada satu pihak, bisa anaknya atau sekolahnya. Tapi untuk sementara, pakai kata ‘cocok’ nggak papa wes…” lanjutnya.

Jadi perlu dilihat bagaimana kesiapan sekolah, baik fasilitas yang diberikan maupun skill dari guru untuk menghadapi anak-anak gifted, baik dalam pembuatan kurikulum khusus yang sesuai dengan si anak maupun bagaimana sikap mereka terhadap anak-anak ini. Dari sisi si anak sendiri juga perlu diperhatikan banyak hal, seperti bagaimana karakternya, masalah-masalah apa saja yang dia hadapi, komorbid apa saja yang dia miliki (beberapa anak gifted juga mengalami kondisi lain macam disleksia, OCD, ADHD), dsb.

Ketika dari sisi sekolah maupun anak semuanya sudah ‘fit’, anak gifted bisa berkembang sesuai dengan potensinya. Bila tidak ‘fit’, akan muncul banyak masalah. Si anak sering tantrum di sekolah, sering bikin masalah di sekolah, permasalahan underachievement, dsb.

Buat gambarannya, aku pakai contoh si Amas saja ya… Yang di foto itu adalah Amas ketika masih di sekolah dasar. Dia tidak bisa diam, suka manjat-manjat, suka gelantungan (di foto itu adalah pose Amas ketika dijemput). Bahkan di kelas pun dia jalan-jalan terus. Prestasi di sekolah biasa-biasa saja. Dicurigai, Amas memakai topeng (masking): demi dia bisa diterima oleh teman-temannya, dia menurunkan kemampuannya agar kurang lebih sama atau bahkan lebih rendah dari teman-temannya itu.

Di sisi lain, Amas juga sulit untuk disuruh mengerjakan soal. Apa-apa dipertanyakan, termasuk ‘mengapa aku harus mengerjakan soal-soal ini?’ Dia beranggapan kalau dia sudah tau ya sudah, tidak perlu ditanya-tanyain lagi… Seringkali dia mengerjakan soalnya sesuai dengan ketentuan minimal. Kalau nilai minimal yang ditetapkan adalah 70 dengan soal 10, maka dia merasa cukup hanya dengan mengerjakan 7 soal saja. Nilai tidak penting baginya. Hingga akhirnya… Amas tidak naik kelas! Ini terjadi ketika dia kelas 5 SD. Di akhir masa pembelajaran, ada 3 nilai yang di bawah KKM, meski semua nilainya di atas 70. Satu mapel bernilai 2 poin di bawah KKM (PKn 71 vs 73), dua mapel bernilai 1 poin di bawah KKM (Matematika 71 vs 72 dan IPS 73 vs 74).

Jadi bila ada yang mengatakan: anak gifted itu pasti di sekolah nilainya bagus-bagus, paling tinggi, ranking-ranking atas terus… Jawabnya adalah: BELUM TENTU! Ada lebih dari 1/3 anak gifted yang mengalami underachievement.

Ada gambaran lain lagi. Ini aku dapat ketika kami (PSGGC Jogja) diundang oleh PLB UNY untuk mengikuti diskusi untuk membahas/mengidentifikasi profil anak-anak Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa (CI-BI). Seorang guru dari sekolah terkenal yang menyelenggarakan program CI-BI (dikenal juga sebagai program akselerasi) di Jogja mengatakan kurang lebihnya gini, “Kami melakukan seleksi ketat untuk anak-anak yang akan masuk ke kelas akselerasi ini. Selain skor yang didapat, kami juga mengecek track record selama belajar di sekolah lama. Kan bisa terlihat, apakah anaknya menyulitkan atau tidak. Ada banyak soalnya yang seperti ini. Bila terlihat menyulitkan begini, saya keluarkan dari daftar.”

Dalam hati kumenangis… “Aduh Bapak… Yang njenengan keluarkan itu kemungkinan besar justru yang gifted…” 😭😭😭

Teman-teman tau nggak sih, untuk menyelenggarakan kelas CI-BI ini, minimum kuotanya (saat itu) adalah 20 seat. Pemerintah sudah cukup baik hati dengan mengatakan standar minimum IQ adalah 130 (tanpa menyebutkan memakai alat tes apa). Untuk bisa menjaring siswa lebih banyak, biasanya sekolah mengakalinya dengan memakai instrumen Stanford Binet atau lainnya. Yang mendapatkan score 130 Stanford Binet pasti lebih banyak dari yang mendapatkan score 130 Wechsler kan… Dan kalau ternyata jumlah siswa yang memenuhi standar minimal itu masih kurang, maka standarnya diturunkan lagi, bisa sampai 125 atau bahkan 120 SB.

Jadi benar pengamatan para pakar gifted: kebanyakan kelas cerdas istimewa justru diisi oleh anak-anak normal atau bright yang gemar belajar.

Oh ya, bright itu di atasnya normal, di bawahnya gifted. Score IQ sekitar 120-129 Wechsler. Ini kelompok anak dengan karakter idaman para guru dan ortu. Manutan, pinter, berprestasi, ndemenake lah…

Bisa dilihat kan… Bahkan kelas yang merupakan program pemerintah untuk memfasilitasi anak-anak gifted ini dalam pelaksanaannya masih belum tepat pada sasarannya.

They don’t fit… not only with the schools but also with the education system. 😭

Jadi ini terjemahanku untuk quote di atas sana:
Kesulitan yang dihadapi para siswa cerdas istimewa kategori tinggi di sekolah dapat diungkapkan secara singkat dalam “tiga” kata: mereka tidak cocok (di tempat mereka sekarang).

Referensi:
https://gifted.msu.edu/about/226/gifted-children-and-hurricanes-why-category-matters

°°°

Tulisan ini dibuat dalam rangka

• Ultah PSGGC Jogja ke-8

• International Day of the Gifted

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar