Diposkan pada Resensi

Enid Blyton vs Roald Dahl

Dua orang ini memiliki banyak kesamaan. Sama-sama penulis buku anak-anak yang sangat terkenal, sama-sama berasal dadi Inggris, dan sama-sama dibesarkan di satu jaman. Enid Blyton lebih tua 19 tahun dari Roald Dahl.

Tapi mereka memilik banyaaaaak perbedaan. Aku cerita tentang Enid Blyton dulu ya… Abis itu baru Roald Dahl.

𝘌𝘕𝘐𝘋 𝘉𝘓𝘠𝘛𝘖𝘕


Aku ngefans sama Enid Blyton sejak kelas 3 SD. Liburan kenaikan kelas menjelang kelas 3 SD tepatnya. Waktu itu ibuku meminjamkan buku-buku Enyd Blyton dari perpustakaan koperasi PG Banjaratma.

Judul yang pertama kali aku baca adalah Lima Sekawan: Memperjuangkan Harta Finiston. Itu buku tebal pertama yang aku kenal. Bukunya mengasyikkan sekali. Saking asyiknya baca, aku membacanya dalam sekali rebahan. Rebahannya sambil diam-diam tentu… Karena kalau ketahuan ibuku aku dimarahin.

Selanjutnya ibuku banyak meminjamkan Lima Sekawan untuk judul-judul yang lain.

Seiring berkembangnya waktu dan semakin banyaknya teman yang aku punya, semakin banyak juga buku-buku Enid Blyton yang aku baca. Serial Komplotan, Sapta Siaga, Petualangan, Pasukan Mau Tahu, untuk yang kategori petualangan, kemudian Mallory Towers, St. Clare, dan Si Badung untuk yang sekolah asrama, dan belakangan Noddy. Aku baru tau saat anak-anak masih balita bahwa Noddy itu karangannya Enid Blyton juga.

Meski Lima Sekawan selalu jadi yang paling favorit (mungkin karena dalam sejarahnya itu serial pertama yang aku baca), aku juga suka seri-seri petualangan lainnya. Untuk yang Lima Sekawan, aku bahkan punya versi Inggrisnya komplit. Ada 21 seri. Tentu saja semuanya aku baca, meski aku juga sudah baca 21 seri Lima Sekawan-nya Enid Blyton yang versi bahasa Indonesia (ada yang diteruskan orang lain soalnya, setelah Blyton meninggal. Tapi aku nggak seneng. Kurang nge-feel gitu…)

Ada yang aneh saat aku baca Lima Sekawan vs Famous Five (LS versi bahasa aslinya). Selama berbelas-belas tahun, tokoh yang paling aku suka itu George. Si cewek tomboy yang punya anjing bernama Timmy. Aku suka membayangkan jadi George! 🤣 Tapi kalau baca versi aslinya, entah kenapa aku kok sukanya pada Julian. Tapi bukan berarti favoritku pindah jadi Julian. Aku paling suka Julian hanya ketika aku baca versi Inggris-nya. Tapi saat aku baca lagi yang versi Indonesia, favoritku balik lagi ke George. Aneh kan? Berarti hasil penerjemahan bisa memberikan andil pada kesan yang muncul dari suatu bacaan. Patut diteliti ini! 🤔 Hush! Sok ilmiah banget sih… 🤣

Aku lupa kapan tepatnya aku mulai ngumpulin versi Inggrisnya. Yang jelas setelah internet ada dimana-mana dan kita bisa browsing sepuas hati.

Kesan yang aku tangkap tentang Enid Blyton setelah aku baca karya-karyanya: dia sangat cerdas, logis, dan bertanggung jawab.

Iya… Perlu kecerdasan tinggi kan untuk bisa menciptakan petualangan asik yang bisa dinalar seperti itu. Sampai-sampai kita terbawa hingga seolah-olah mengalami sendiri.

Yang sekolah asrama juga gitu… Sekolah-sekolahnya asik-asik. Mallory Towers, Whyteleafe, atau St Clare punya aturan sendiri-sendiri dan budayanya juga beda-beda. Tapi semuanya asik. Siswa-siswa di sana pada bisa menjadi yang terbaik versi mereka. Aku sampai membayangkan… ‘Ndahneyo kalau aku sekolah di sekolah-sekolah itu… Pasti perkembanganku juga bisa lebih maksimal’. Sampai segitu membayangkannya… 🤣

Yang jelas, banyak pelajaran berharga yang kudapat dari membaca buku-bukunya Enid Blyton. Mungkin ini berkaitan dengan profesi asli penulisnya. Ya, Enid Blyton seorang guru. Mungkin saking mendarah daging jiwanya dalam mendidik, di buku-bukunya juga dia selipkan sesuatu agar anak-anak yang baca bukunya bisa mendapatkan hal-hal yang baik. Alus banget masukinnya, sampai kita nggak merasa digurui.

𝘙𝘖𝘈𝘓𝘋 𝘋𝘈𝘏𝘓
Aku telat mengenal Roald Dahl. Aku baru tau ada penulis buku anak-anak terkenal bernama Roald Dahl saat Amas sekitar kelas 4 SD. Padahal bukunya banyak yang menjadi best seller internasional lho! Bahkan ada beberapa yang di-film-kan.

Ternyata eh ternyata… Aku justru lebih dulu nonton filmnya daripada baca bukunya. Pernah nonton ‘Matilda’ sama ‘Charlie and the Chocolate Factory’? Itu diadaptasi dari buku karangannya Roald Dahl yang berjudul sama.

Jadi ketika suatu saat aku menemukan sekumpulan buku Roald Dahl dalam edisi box, dimana dalam satu box berisi 14 buku, maka tanpa pikir panjang aku beli itu. Buat Amas tentu saja.

Amas tentu saja senang sekali! Lihat bagaimana dia keasyikan membaca sambil ngumpet-ngumpet di bawah piano. 😂 Itu yang dibaca bukunya Roald Dahl. Di deketnya tersaji satu box penuh, tapi tidak keambil di foto.

Sayangnya buku-buku Roald Dahl tidak memberikan dampak baik buat Amas. Amas jadi suka misuh! Misuh itu bahasa Jawa dari mengumpat.

Eh, beneran loh, misuhnya jelek banget! Kami nggak pernah ngajari itu. Bapak ibunya nggak ada yang suka misuh. Well, kadang aku misuh juga ding, tapi dalam hati. Nggak pernah kuucapkan. Atau misuh dalam arti yang sebenarnya, meski cuma tertulis. Misalnya, dulu aku pernah nulis “Huwasssu tenaaan” di postinganku dengan penuh kepuasan. Waktu itu aku reshare postingan orang, sebuah video yang menggambarkan betapa indahnya rambut sang guguk. Beneran, indah bangeeettt! Aku jadi pingin punya rambut kayak gitu. Mana covernya cuma menunjukkan gambaran dari belakang, dimana rambutnya berkibar lembut diterpa angin. Yang kebayang tentu saja itu adalah cewek cantik. Jebul pas nengok itu guguk. Huwasssu tenaaan! (Puas banget nulis ini. 🤣🤣🤣)

Balik ke Roald Dahl.

Lama bagiku untuk menyadari kalau kejadian Amas misuh itu karena pengaruh Roald Dahl. Hingga suatu saat aku ada kesempatan baca buku itu.

Hla dalah! Banyak banget pisuhan di situ! Kasar banget pisuhannya. Itu ada di semua buku di dalam box itu! Langsung nyesel aku beli bukunya. Gimana sih ini.. Katanya best seller… 🙄

Jadi ini yang aku lihat dari Roald Dahl:
Dia memang menulis buku itu untuk anak-anak. Dia membebaskan imajinasinya seliar-liarnya. Jadi beda dengan Enyd Blyton yang meski khayalan tapi itu logis, Roald Dahl nggak. Super duper liar! Juga ada banyak umpatan-umpatan kasar yang keluar dan adegan-adegan kekerasan fisik (macam pukul-pukulan, tabok-tabokan, hukuman tak berperasaan, dan kekerasan fisik lainnya). Beda dengan Enid Blyton yang kelihatan mempertimbangkan dampak bukunya bagi anak-anak, Roald Dahl nggak ada batasan.

Fix. Buku-buku Roald Dahl nggak baik untuk Amas. Sayangnya Amas sudah baca semua buku itu. Tapi untuk mencegah dia baca ulang lagi bukunya, segera saja aku masukkan semua bukunya ke dalam box, kemudian aku sembunyikan.

Aku pingin banget memindahkan buku itu dari rumahku. Mau aku sumbangkan ke perpustakaan, tapi takut merusak anak-anak yang membacanya (takutnya efeknya kayak ke Amas). Mau kukasihkan ke seseorang yang anaknya kutu buku, aku nggak tega juga. Aku tuh pinginnya ngasih buku itu ke seseorang, yang mana itu nggak akan ngefek ke dia.

Hingga bertahun-tahun kemudian…

PSGGC Jogja mengadakan acara. Untuk mengumpulkan lebih banyak dana, kami mengadakan fund raising. Aku jual buku-buku itu di acara itu. Aku cerita dengan jujur agar yang mau membeli bisa mempertimbangkan dampaknya. Dan… ternyata ada orang dewasa yang sangat bertanggung jawab yang mau beli 1 set buku itu untuk dia sendiri (bukan untuk anak-anak). Dia tau tentang Roald Dahl dan karya-karyanya.

Dengan lega aku melepas buku-buku itu. Alhamdulillah… Mereka berada di tangan yang tepat sekarang.

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar