Diposkan pada Musik

The Way We Were

[07.11.2021]

Siang ini mellow.

Hari ini aku mesti berpisah dengan teman karib yang sudah menemaniku selama hampir 29 tahun. šŸ˜­šŸ˜­šŸ˜­

Namanya Erik.

Aku sempat mendua sebelumnya.

Ā°Ā°Ā°

Aku suka musik. Suka sekaliā€¦ Bahkan tergila-gila. Cita-citaku jaman dulu adalah jadi pemain orkestra. Tapi ibuku bilang kalau jadi pemain orkestra, maka bayaran yang didapat mesti dibagi 100 orang. Dalam hatiku: meski sudah dibagi 100 orang pastinya tetep banyak kaaaanā€¦ Cuma dalam hati. Aku nggak mau dilabel ngeyelan.

Aku dulu pingin sekali belajar piano. Tapi kondisi ekonomi kami saat itu pas pasan. Pas butuh pas ada. Alhamdulillahā€¦ Tapi untuk beli piano jelas itu merupakan hal yang terlalu mewah. Bapakku mencoba mengalihkannya dengan gitar. Aku dibelikan gitar kecil merek Kapok. Warnanya kuning. Senar aslinya string tapi kemudian diganti nilon.

Aku nggak minat sama sekaliā€¦ Tapi demi menjaga perasaan bapakku, gitarnya aku terima. Tapi nggak kuapa-apain. Aku nggak suka gitar, nggak kepingin belajar main gitar juga.

Suatu hari abang sepupuku datang. Aku memanggilnya bang Ijan. Aku kelas 3 SMP saat itu. Sudah mau lulusan.

Abang sepupuku ini suka main gitar. Aku pinjemin gitar cilikku padanya. Kami banyak ngobrol tentang musik. Dia jadi tau kalau aku suka banget dengan musik klasik.

Bang Ijan bilang, kalau sebenarnya ada permainan gitar yang kedengarannya seperti permainan piano. Hwaaaaaā€¦ Mataku langsung membulat. Benarkah?

“Iyaā€¦ Namanya gitar klasikā€¦”

Informasi ini aku simpan sampai 3 tahun kemudian, saat Bapakku dimutasi ke kantor pusat di Solo (sebelumnya beliau berdinas di Comal – Pemalang). Aku jadi bisa bebas jalan-jalan di kota yang lumayan besar nih. Kebetulan saat itu aku mengambil gap year selama setahun. Gap year! šŸ¤­

Aku cari-cari sekolah musik, ketemuā€¦ Sekolah musik itu memakai lisensi dari Yamaha Musik Indonesia. Aku tanya-tanya tentang gitar klasik di sana. Ternyata memang ada kelas gitar klasik.

Aku minta ijin ke bapakku untuk les di sana. Tampaknya bapakku lega sekali aku bisa melupakan keinginanku untuk belajar piano. Jadi aku diijinkan.

Hari pertama les aku ditanya bisa main lagu apa. Aku cuma bisa main salah satu Etude-nya F. Sor. Cuma bisa satu lagu itu, diajari sama temennya temennya mbak Yuli kakakku. (Temennya temennya yaā€¦ bukan hanya temennya). Aku bahkan tidak tau akord. Parah banget! Aku cuma bisa satu lagu itu tok ndhil. šŸ˜‚

Herannya, sama guruku itu aku dilompatkan satu level. Aku sempat protes. Aku mau dari level terbawah karena aku bener-bener nggak tau apa-apa. Guruku bilang nggak perlu. Dia yakin aku bisa ngikutin level yang dia tunjuk. šŸ™„

Oh yaā€¦ Guru gitarku itu belajar gitarnya sampai Itali. Keren yaā€¦ Aku sering minta dia ngomong pakai bahasa Itali. šŸ˜‚ Namanya Mahmud Sungkar. Dia mengajar juga di Pondok Assalam, depan kompleks perumahanku saat itu.

Aku serius belajar gitarnya.

Setelah setahun berlalu, aku memilih untuk kuliah di Jogja. Alasannya: biar bisa sering-sering nonton konser musik klasik gratis.

Les gitarku aku pindah ke Jogja. Memakai kurikulum YMI juga. Guruku namanya Pak Andre Indrawan. Dedengkot gitar Indonesia. (Tapi muridnya yang satu ini cuma biasa-biasa aja. Bahkan di bawahnya mediocre. šŸ˜‚)

Selain sekolah musik, aku juga kuliah di jurusan yang nggak ada sangkut pautnya dengan musik. Aku jalani saja. Yang penting aku tetep bisa belajar musik dan nonton konser musik klasik gratis.

Melihat motivasi belajarku yang biasa-biasa saja, bapakku memberi tantangan. Kalau aku bisa mencapai IP 3, maka aku akan dibelikan gitar Yamaha seperti yang aku mau. Semangat dong aku belajarnya. Saat menjelang ujian tapi. šŸ¤­ Kebiasaan jelek, jangan ditiru!

Bisa ditebak kan kalau IP-ku 3 lebihā€¦ Demi gitar impian. šŸ˜‚ Oh ya.. IPK 3 saat itu lumayan keren loh, karena nilai bagus saat itu banyak yang susah didapat. Ada banyak dosen yang kasih nilai CDCD. Bahkan bisa saja nilai terbaik sekelas adalah D. (Aku bahkan pernah ngalami, sekelasku nilainya maksimalnya D. Malas ngulangnya, karena yang ngajar hanya dosen itu. Jadi di transkripku terhias dengan manis nilai D. šŸ˜‚šŸ˜‚šŸ˜‚) Jaman sekarang mana bisaā€¦ Harus ada nilai A di kelas yang kita ampu. Ada aturannya. Bahkan sejak pertama jadi dosen tahun 1999, di kelasku selalu ada nilai A. Ora ketang cuma 2. Minimal segitu kalau semua nilai di kelas aku katrol. Tapi kalau secara alami semuanya nilainya bagus, bisa jadi semua aku kasih nilai A. Sayangnya belum pernah.

Balik ke laptopā€¦ Akhirnya aku punya juga gitar Yamaha. Hip hip huraaaaā€¦ šŸ’ƒšŸ’ƒšŸ’ƒ. Bukan seri yang tinggi sihā€¦ Aku nggak tega milihnya. Kasihan bapakku. Yang penting Yamaha lahā€¦

Dan gitar itu menemaniku selama bertahun-tahun. Menemaniku les gitar selama sekitar 4 tahunan setelahnya, menemaniku main gitar nggak jelas di kamar, bahkan menemaniku konser bersama Yogyakarta Guitar Orchestra. Akhirnya cita-cita jadi pemain orkestra tercapai juga meski cuma sekali.

Aku beri nama dia Erik.

Dan hari iniā€¦ Aku mesti berpisah dengannya. Sedihā€¦ Pingin nangisā€¦ Semedhotā€¦

Aku terpaksa berpisah dengannya karena aku sudah punya lainnya. Sementara rumahku nggak muat kalau simpan gitar banyak-banyak.

Aku sempat mendua karenaā€¦ Well, aku sudah cerita kan kalau aku pilih itu karena nggak tega pilih yang lebih mahalā€¦ Sebenernya di dasar hatiku aku pingin banget punya gitar Yamaha yang bagian belakangnya ada garis kuning. Sederhana saja kan keinginankuā€¦ Bahkan semisal diminta memilih mau dikasih gitar seharga belasan juta baru gres atau gitar Yamaha seken yang di belakangnya ada garis kuning, aku akan pilih yang Yamaha. Sudah diam aja! Aku tau kalau aku anehā€¦

Dan akhirnya aku mendapatkan gitar itu! Seken tentu saja. Sama tuanya. Tapi kan di belakangnya ada garis kuningā€¦

š˜”š˜¢š˜¢š˜§š˜¬š˜¢š˜Æ š˜¢š˜¬š˜¶, š˜Œš˜³š˜Ŗš˜¬ā€¦ š˜’š˜¢š˜®š˜¶ š˜®š˜¦š˜“š˜µš˜Ŗ š˜±š˜¦š˜³š˜Øš˜Ŗ š˜„š˜¢š˜³š˜Ŗ š˜©š˜Ŗš˜„š˜¶š˜±š˜¬š˜¶. š˜’š˜¢š˜­š˜¢š˜¶ š˜£š˜°š˜­š˜¦š˜© š˜«š˜¶š˜«š˜¶š˜³, š˜¢š˜¬š˜¶ š˜®š˜¢š˜“š˜Ŗš˜© š˜®š˜¦š˜Æš˜¤š˜Ŗš˜Æš˜µš˜¢š˜Ŗš˜®š˜¶ š˜“š˜¦š˜£š˜¦š˜Æš˜¢š˜³š˜Æš˜ŗš˜¢. š˜‰š˜¢š˜Æš˜ŗš˜¢š˜¬ š˜¬š˜¦š˜Æš˜¢š˜Æš˜Øš˜¢š˜Æ š˜£š˜¦š˜³š˜“š˜¢š˜®š˜¢š˜®š˜¶.

Entah kenapa, baru kepikiran untuk merekam lagu sebagai perpisahan dengannya pada detik-detik terakhir. Sebelum dia dijemput oleh pemilik yang baru. Nggak dandan, rambut awul-awul. Khas emak-emak kalau pas di rumah. šŸ˜‚Benar-benar di detik-detik terakhir, karena sebelum lagu selesai mobil pemilik baru lewat. Kelihatan di rekaman. šŸ˜‚ Untung aku sempat menyelesaikan lagunya. Meski mainnya rada putus-putus dan salah-salah šŸ¤­, nggak sempat retake. Kuharap itu nggak membuat kuping kalian rusak.

š˜šš˜¦š˜®š˜°š˜Øš˜¢ š˜¬š˜¢š˜®š˜¶ š˜£š˜¢š˜©š˜¢š˜Øš˜Ŗš˜¢ š˜„š˜Ŗ š˜µš˜¦š˜®š˜±š˜¢š˜µ š˜£š˜¢š˜³š˜¶š˜®š˜¶, š˜Œš˜³š˜Ŗš˜¬ā€¦

Ā°Ā°Ā°

š™š™š™š š™’š™–š™® š™’š™š š™’š™šš™§š™š
Dipopulerkan oleh Barbra Streisand
Ditulis oleh Alan Bergman, Marilynd Bergman, Marvin Hamlisch
Aransemen oleh Royke B. Koapaha

Ā°Ā°Ā°

Ada sedikit cerita tentang alm Bang Ijan di sini.
May you rest in peace, Bang Ijanā€¦ Al Fatihahā€¦

.

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar