Diposkan pada Nguri-uri Budaya, Tradisi

Pengantin Melayu Kala Itu

[24.05.2021]

Hari ini semestinya ulang tahun pernikahan orang tua kami ke-52. Qadarullah ibuku berpulang 30 Desember 2019 yang lalu. Namun paling tidak apa yang dicita-citakan tercapai. Dari dulu beliau sering bilang ingin melewati pernikahan emasnya. Beliau berpulang 7 bulan setelah pernikahan emasnya.

Foto ini mewakili suasana masa lalu. Suasana yang memotret bagaimana bahagianya bapakku karena berhasil meminang gadis idamannya, meskipun berbeda suku. Saat itu pernikahan beda suku masih lumayan jarang, mungkin karena transportasi belum semaju sekarang ini, jadi belum banyak orang merantau.

Konon saat masih perjaka, bapakku suka banget menarikan tarian Melayu. Sementara ibuku doyan banget makan tempe. Sampai-sampai Tukwan (Datuk Wanita – demikian aku memanggil nenekku) berkata, “Kamu mau jadi orang Jawa ya?” Dua hal itu kemudian mempertemukan mereka. 😀

Ada cerita dibalik baju pengantin yang mereka kenakan. Ini berkaitan dengan nenek moyang ibuku yang kebetulan berada dalam garis keturunan sultan di Kesultanan Lingga-Riau yang dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1911. Beberapa hari sebelum hari pernikahan, utusan dari Pulau Penyengat mendatangi rumah Tukbah (Datuk Abah ~ ini bagaimana aku memanggil kakekku). Mereka menyerahkan kain untuk dipakai oleh pengantin. Setelah perhelatan selesai, kain itu dikembalikan ke Pulau Penyengat.

Kain samping yang dikenakan bapakku adalah kain turun temurun yang dikenakan oleh pengantin keturunan kerajaan.

Konon semua keturunan raja yang bergelar ‘Raja’ saat menikah memakai kain tersebut (bisa dipakai oleh keturunan tsb atau pasangannya). Gelar ‘Raja’ sendiri hanya diturunkan oleh keturunan laki-laki, diturunkan baik kepada anak laki-laki maupun anak perempuannya. Itulah mengapa di nama depan ibuku ada ‘Raja’-nya. Ibuku sendiri tidak bisa menurunkan gelar itu pada anak-anaknya.

Bicara tentang Pulau Penyengat, ibuku sering bercerita tentang pulau ini. Cerita yang paling sering terselip di obrolan adalah masjid besar di Pulau Penyengat yang dibangun oleh nenek moyangnya. Masjid itu dibangun dengan menggunakan putih telur! Tentu saja bukan hanya putih telur tok, melainkan juga ada campuran pasir, kapur, dan tanah liat.

Saat kecil dulu aku nggak bisa membayangkan seperti apa wujud masjid yang dibangun dengan putih telur. Beruntung sekarang teknologi sudah demikian maju. Tinggal ketik, cling… muncullah gambar masjid itu. Pengen jalan-jalan? Buka aja aplikasi Google Earth, klik street view, dan kita bisa jalan-jalan ke sana. Ooops, tapi sayang, kita ternyata nggak bisa jalan-jalan pakai street view di Pulau Penyengat ini. Hanya bisa liat foto 360°-nya saja.

Foto Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat, yang merupakan hasil dari jalan-jalan di Google Earth. 😀 Masjid ini dibangun pada tahun 1832.Lihatlah kubah-kubah dan menaranya! Jumlah kubah + menara ada 17, yang melambangkan banyaknya rakaat dalam shalat wajib sehari semalam.

Aku sungguh penasaran dengan masjid ini. Pengen banget suatu saat bersama keluarga bisa main ke sana. Selain penasaran karena cerita ibuku, aku penasaran juga apakah di masjid ini disimpan kain yang dipakai saat orang tuaku menikah dulu. Di masjid itu atau di Balai Adat ya? Aku cari-cari di Google tentang cerita kain itu kok nggak ketemu.

Kapan pandemi ini berakhir ya? Biar bisa bebas jalan-jalan…

[HDK]

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar