Diposkan pada Cerita Merapi

Merapi Tak Pernah Ingkar Janji

[06.11.2020]

Ini memori 10 tahun yang lalu. Aku ingin menuliskannya sekarang, karena statusku tentang saat-saat itu seliweran di Facebook. Juga kondisi cuaca Jogja saat ini yang panasnya nggak umum mengingatkanku pada masa itu. Apalagi, tanggal 5 November kemarin status Merapi yang “Waspada” naik menjadi “Siaga”.

Sebelumnya mungkin perlu kuceritakan, bahwa rumah kami terletak di daerah yang  aman dari hujan abu, meski jaraknya hanya 23 km dari puncak Merapi. Hujan abunya mungkin hanya lewat jauuuh di atas wilayah kami, tertiup angin ke selatan, dan jatuh di tempat yang justru jauh dari puncak tersebut. Jadi daerah tempat tinggal kami udaranya masih bersih.

Karena kondisi semakin mengkhawatirkan, aku menyiapkan koper-koper, dan mengisinya dengan baju-baju kami. Saat diperlukan tinggal angkat. Persis seperti waktu akan melahirkan dulu. Namun jujur saja, saat menyiapkan ini aku pikir aku lebay sekali. Nggak mungkin lah kami mengungsi… Kan rumah kami lumayan jauh dari zona bahaya…

Tapi zona bahaya makin lama makin luas, dari 5 km, 10 km, dan terakhir 15 km. Kalau ditambah 10 km lagi, tempat tinggal kami akan masuk dalam zona bahaya juga.

Kamis 4 November 2010. Meski Merapi sudah meletus berkali-kali sejak berhari-hari sebelumnya, tapi aku merasa aneh dengan hari itu. Pagi hari cuaca cerah sekali. Meski Merapi erupsi dan mengeluarkan awan panas berkali-kali dan daerah di sekitar gunung mendung, namun langit di atas terlihat cerah. Seperti habis di-laundry!

Entah kenapa, seharian itu aku ingin sekali si Bapak ada di sampingku. Mungkin karena suara gemuruh Merapi berulang kali terdengar. Serem rasanya… Sayangnya si Bapak tidak langsung pulang selesai bekerja. Dia ikut rapat penanggulangan bencana.

Aku menunggu kepulangannya hingga malam. Akhirnya aku ketiduran. Sekitar jam 10 malam aku terbangun. Rasanya seperti ada gempa. Jangan-jangan cuma mimpi…

Tau-tau si Bapak telpon. Dia minta aku lihat ke teras rumah, apakah ada hujan abu. Ternyata benar… Ada hujan abu tipiiiisss… Ini hujan abu pertama yang mampir ke rumah, setelah Merapi berhari-hari erupsi.

Aku masuk rumah lagi. Kemudian aku merasa ada gempa lagi. Tapi ini sangat meragukan. Lemah sekali. Aku masih berpikir ini hanya perasaanku saja. Tak berapa lama, terasa lagi. Tapi memang ini benar-benar meragukan gempanya.

Aku ambil gelas bening, kuisi air. Aku harus memastikan, apakah ini beneran gempa atau bukan. Dan ketika aku merasakannya lagi, aku segera lihat gelasnya. Betul, airnya bergoyang-goyang. Jadi fix, ini bukan mimpi.

Kemudian gempanya terasa lagi… Lebih keras. Gempanya berbeda dengan gempa biasa yang menggoncang kencang, ini seperti bergetar. Aku segera SMS temanku, tanya apakah dia merasakan gempa yang aneh. Temanku membalas, dia juga merasakan. Gempa tremor, katanya.

Setelah itu gempanya makin sering. Setiap berapa menit sekali… Makin lama makin kencang. Persis seperti kontraksi saat mau melahirkan…

Aku setel TV, kucari channel MetroTV dan TVOne. Itu 2 channel yang paling sering apdet kondisi Merapi. Dua channel itu tidak memberitakan apapun tentang Merapi. Acaranya acara rutin. Aku pun cari semua channel. Tidak ada satupun yang memberikan informasi Merapi terkini.

Aku matikan lagi TV-nya. Rasanya sepi sekali… Suasana saat itu bener-bener mencekam. Sepi yang aneh… Diselingi dengan gempa tremor yang berkali-kali melanda, disertai dengan suara gemuruh Merapi yang tiada henti. Aku merutuki semua TV yang ada. Kenapa mereka semua seolah sedang bergembira? Aku merasa seperti di dunia lain…

Aku menuju ke kamar belakang. Koper-koper yang sudah kusiapkan kukeluarkan. Aku tambahkan beberapa baju pada masing-masing koper tersebut. Masukinnya sambil gemeteran.

Aku pandangi anak-anak yang pada tidur pulas. Kalau ada apa-apa terjadi, bagaimana caranya menyelamatkan mereka? Saat itu Amas berusia 6 tahun, dan si Ade 3 tahun.

Aku senang sekali ketika akhirnya aku mendengar suara motor si Bapak. Aku langsung memeluknya sambil menangis. Gembeng… 😂 “Kita harus mengungsi sekarang juga…”, kataku di sela tangisanku.

Segera kami bersiap-siap, termasuk menelpon keluarga di Kasongan tempat kami akan mengungsi. Kami nggak memilih ke Solo meskipun lebih jauh dari Merapi (sehingga  nampaknya akan lebih aman). Ini karena dalam perjalanan menuju ke Solo kita harus mengitari Merapi sejauh beberapa belas kilometer. Takutnya ada apa-apa di jalan.

Anak-anak dimasukkan ke dalam mobil dalam keadaan tidur. Tengah malam kami kami berangkat. Jalanan yang biasanya sepi saat itu ramai sekali. Perempatan Tajem bahkan dijaga oleh polisi. Belakangan kami baru tau kalau ternyata zona bahaya diperluas menjadi 20 km. Para pengungsi di daerah yang tadinya aman dalam zona 20 km kemudian dipindahkan ke tempat-tempat pengungsian di daerah yang lebih bawah. Sebagian besar dipindahkan ke stadion Maguwoharjo yang saat itu belum selesai sempurna. Itulah mengapa ada banyak polisi di perempatan Tajem.

Saat kami baru sampai di flyover Janti (sekitar 10 menit dari rumah), kami diberitau tetangga kalau perumahan kami seperti dilempari kerikil. Ternyata baru saja Merapi meletus besar. Besar sekali! Konon ini adalah letusan terdahsyat sejak tahun 1870. Untungnya jalanan yang kami lalui aman-aman saja. Tidak ada hujan kerikil.

Akhirnya sampai juga kami di Kasongan. Rumah mertua. Segera anak-anak dipindahkan ke kamar, begitu juga barang-barang bawaan.

Kami menyetel televisi. Ternyata sekarang TV-TV sudah pada menyiarkan peristiwa Merapi. Ada banyak korban yang dilarikan ke rumah sakit. Beberapa pengungsi dari daerah pengungsian lama bahkan terkena hujan lumpur saat menuju daerah pengungsian yang baru.

Paginya, Amas dan Ade bingung kenapa kok tau-tau sudah di rumah Simbah. 😂 Kami di sana hanya 4 hari. Tanggal 9 Nov kami sudah balik lagi ke rumah. Merapi sudah lebih tenang. Di samping itu Amas juga mulai masuk sekolah. Lebih penting dari itu, udara di lingkungan tempat tinggal kami lebih bersih daripada di Kasongan yang banyak sekali abunya. Setelah letusan besar itu, kembali hujan abu hanya melewati bagian atas tempat tinggal kami saja, dan turun jauh di tempat lain.

Merapi, sebelum dan setelah letusan besar itu…

[HDK]

°°°

Sumber gambar:

https://mountmerapi.wordpress.com/tag/freatik/

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar