Diposkan pada Corona, Kesehatan

Bagaimana Jika Ada ‘ODP’ di Sekitar Kita?

[19.03.2020]

Bagaimana kalau saya beritahu saya adalah ODP?

°°°

Selesai mengemukakan apa yang saya keluhkan, dokter di faskes 1 kami mengatakan, “Ibu saya masukkan sebagai pasien dalam pemantauan kami ya…”

Mak deg…

Apakah dengan demikian saya dianggap sebagai PDP (Pasien dalam Pengawasan)?

°°°

Saya ceritakan saja dari awal ya…

Saya batuk dan pilek agak lama. Sempat sembuh sebentar. Eeeh besoknya muncul lagi batuk-batuknya. Jadi sembuhnya cuma beberapa jam tuh…

Batuk periode kedua ini agak berbeda. Disertai dengan badan lemas. Sepertinya HB saya drop. Saya memang sering drop HB-nya. Ada gejala lain juga yang muncul persis seperti saat HB drop. Tulang nyeri-nyeri! Sempat diare juga. Eh, tapi saya kan habis makan sambel…. Sering begitu kalau sambelnya nggak cocok.

Sudah… Gitu doang. Tanpa sesak nafas, demam hanya ringan saja (hari-hari berkisar 37,2-37,4).

Saat pembicaraan tentang Corona dengan beberapa teman, saya nyeletuk, “Wah, saya batuk lumayan lama nih…”

Teman saya menyarankan untuk priksa. “Siapa tau Covid 19… Habis ketemuan dengan aku kan? Aku dari luar negeri. Aku tinggal dekat sekali dengan zona merah. Memang aku sehat, tapi siapa tahu carrier…”

Besoknya saya priksa.

Dokter menanyakan riwayat penyakit, riwayat perjalanan, dan kontak. Saya ceritakan semua.

Dan begitulah… Seperti yang saya ceritakan di atas, dokter menyatakan saya masuk dalam pasien yang dipantau oleh faskes itu.

Dokter menambahkan, bila ada tanda-tanda memburuk, segera kembali ke klinik. Misalnya bila sesak nafas. Tanda-tanda sesak nafas adalah apabila nafas menjadi lebih cepat, sekitar 30 kali per menit.

Setelah itu saya pulang. Saya bingung. Bukan bingung karena panik, tapi…

Hanya begitu kah? Begitu saja dan tiba-tiba masuk menjadi PDP?

Saya curhat dengan beberapa sahabat. Seorang sahabat memberikan selamat sambil berkata bahwa dia baru lulus dari status ODP (Orang dalam Pemantauan). Bebaaas!!! Hwaaa… Itu dia pasti sedang menyelamati dirinya sendiri… 😏

Tapi untunglah saya tahu ini… Saya jadi bisa mengorek info darinya. Dia menjadi ODP karena ada temannya yang menjadi PDP. Hasil tes temannya negatif. Alhamdulillah… Dia tidak batuk sama sekali. ‘Hanya’ sesak nafas. Tapi sesak nafasnya ini karena asmanya kambuh saat panik. Swab tenggorokan tidak dilakukan padanya mengingat keadaannya tampak sehat. Dia diberi surat keterangan bahwa dia ODP. Dia bilang dia butuh itu, karena dia bekerja. Dia mengkarantina diri, namun pada waktu-waktu tertentu pergi ke tempat kerjanya. Nggak sering-sering siiih… Social distancing tetap diperhatikannya.

Seorang sahabat yang lain menyodorkan berita tentang seseorang yang PDP dan harus diisolasi di RS.

Saya semakin yakin saya bukan PDP. Saya jadi cari-cari di google tentang beda ODP, PDP, dengan suspect.

Ini 3 kategori sebelum seseorang dinyatakan positif corona

Ditambah dengan berbagai bacaan yang saya baca, simpulan saya: sebagian besar PDP diisolasi di RS.

Jadi, mungkinkah PDP yang dimaksud dokter tersebut berbeda dengan PDP yang dimaksud pemerintah? Jangan-jangan yang dimaksud dokter tersebut hanya untuk dipantau oleh faskes saja bukan pemantauan seperti yang di berita-berita itu…

Ah, saya ingat, seorang sahabat yang lain pernah memberikan nomor hotline Humas Dinkes di group WA kami. Ada beberapa hotline sih sebenarnya, dari berbagai group WA… Tapi hanya hotline tersebut yang saya hubungi.

Via WA, saya ceritakan kronologis yang saya alami, juga kebingungan saya tentang status itu. Dan terutama, apa yang harus saya lakukan.

Operator hotline tersebut sangat responsif. Dia menyarankan saya kembali ke faskes 1 untuk menanyakan apa yang dimaksud dengan ‘pasien dalam pengawasan’ tadi. Bila memang ada kecurigaan, disarankan untuk segera dirujuk saja ke RS Rujukan agar segera dites dan ditentukan bagaimana pendampingannya.

Malamnya saya kembali ke faskes 1. Karena dokter yang praktek sudah ganti, saya ceritakan dari awal apa yang saya rasakan, juga bagaimana pendapat dokter sebelumnya. Saya ceritakan juga tentang saran dari Humas Dinkes tadi. Bukan hanya ceritakan ding, tapi kasih tunjuk WA-nya.

Saya diberi rujukan untuk ke IGD salah satu RS Rujukan. Saya ke sana malam itu juga.

Di sana saya diarahkan ke ruangan tersendiri. Terpisah dari IGD yang biasa. Beda gedung. Setelah dilakukan anamnesa dan pemeriksaan-pemeriksaan standar (suhu badan, pemeriksaan melalui stetoskop, tensi), saya diminta untuk melakukan foto rontgen. Setelah selesai Rontgen saya balik lagi ke ruang periksa tadi. Ditinggal.

Rada horor rasanya. Ruang itu bagian dari ruangan yang lebih besar. Besaaaaar!!! Dan saya hanya sendirian di situ. Tak ada siapapun!!! Tengah malam!!! 👻👻👻

Suami mengantar sih… Tapi dia menunggu di mobil. Saya lebih suka begitu, daripada dia ikut masuk RS malah berurusan dengan banyak kuman… Sebisa mungkin kami membatasi kuman yang mungkin menempel di keluarga kami. Kebetulan juga saya relatif sehat. Hanya batuk-batuk sedikit. Jadi berani lah jalan sendiri…

Dua setengah jam kemudian… Dalam keadaan setengah tidak sadar karena mengantuk, saya mendengar nama saya dipanggil. Dini hari sekitar pukul 2. Mak jegagik!!! Saya nggak begitu jelas mendengar saya dipanggil untuk kemana. Untungnya kemudian panggilan itu diulang. Ternyata saya diminta ke kasa untuk menyelesaikan pembayaran. Di sana saya diberi kwitansi, resep obat, dan kartu orange bertuliskan ‘Kartu Pemantauan Pasien’. Sudah, gitu aja!

“Ini sudah gini aja? Selesai?” tanya saya nggak percaya.

“Ibu tebus obatnya di apotik di dalam… Hasil Rontgen diambil hari Senin ya…”

Hanya itu! Nggak ketemu lagi sama dokternya! 😱

Terus mana pemeriksaan-pemeriksaan yang lain?

“Setelah ini saya boleh pulang?” tanya saya.

“Ya…” jawab petugas kasa.

Sayapun pulang sambil terbengong-bengong.

Begitu saja? 😱

Ups sebentar… Saya perlu tebus obat dulu kan ya? Setelah tebus obat, saya mencoba menanyakan kejelasan pada salah seorang dokter di situ.

[Sebenarnya ada kisah sedih yang saya skip. Nggak usah saya ceritakan detilnya lah… Tapi ada seorang dokter di situ yang saya hindari. Pukul 1 sebenarnya saya sempat menanyakan sesuatu ke ruang IGD ini, tapi dokter tersebut menjawab dengan ketus. Mungkin dia capek… Ya sudahlah… Dia memang bukan dokter yang memeriksa tadi. Saya tidak melihat dokter yang memeriksa saya tadi di situ. ]

Dokter yang tadi berkata ketus tersebut nampaknya sedang tidur. Kebetulan nih… Saya tanya pada dokter di belakangnya, aaah… Eh tapi dia melek pada saat saya mau melewatinya. Jadi saya benar-benar berhadapan dengannya nih…

“Dok, berapa lama saya harus menjalani isolasi?”

“14 hari. Jangan kemana-mana…” jawabnya.

Saya mengangguk. “Terima kasih, Dok…”

Saya pulang beneran sekarang. Sampai rumah jam 3 pagi. Hwaaa begadang nih…

°°°

Saya tidak tahu status saya. Saya hanya pegang “Kartu Pemantauan Pasien”. Jelas saya bukan PDP, karena beberapa kriteria tidak masuk. Dan PDP pasti masuk dalam perawatan isolasi di RS.

ODP kah? Atau pasien yang dipantau tapi bukan ODP maupun PDP? Siapa tahu ada jenis yang lebih ringan…

Ah, status nggak penting! Yang penting sekarang saya mengisolasi diri di rumah. Meski demikian, untuk sementara saya beranggapan bahwa saya ODP.

Sebenarnya untuk menjaga jarak dari orang rumah sudah saya terapkan beberapa hari sebelumnya. Sejak hari pertama saya merasa nggak enak badan.

Stop cium-cium, stop peluk-peluk, stop dekat-dekat… Agak sulit sebenarnya karena mereka berada di depan mata. Terutama si Ade itu. Dia itu enak banget diuyel-uyel… Saat mereka berada di rumah, saya lebih banyak di kamar. Sekarang saya menguasai kamar ini sendirian! Horeee…

Hal yang paling menyedihkan adalah saat denger Ade bilang, “Ibu, aku mau peluk-peluk Ibu… Kenapa nggak boleh?”

“Boleh… Beberapa hari lagi ya… Kalau Ibu benar-benar sudah sembuh…”

“Ibu sakit apa?”

“Flu… Tapi kondisi di luar sekarang sedang seperti ini. Kita mesti hati-hati… Ade selalu jaga jarak ya dengan orang lain… Sering cuci tangan juga.”

Dia tau tentang Covid-19 sebenarnya. Saya mempertimbangkan hatinya untuk mengatakan terus terang bahwa saya ODP. Bagaimana kalau dia stres? Apalagi dia sedang mempersiapkan UN SD. Saya hanya berulangkali mengingatkannya untuk jaga jarak pada siapapun. Dengan saya jarak sangat terjaga.

“Tapi Bu… Susah sebenarnya kalau jaga jarak di sekolah. Kan kursinya sudah diatur begitu…”

Si Ade juga kami minta untuk sholat di rumah saja. Awalnya agak sulit, namun akhirnya dia menurut.

Kalau Amas (kakaknya) tahu status saya. Hari Jumat (sehari sebelum saya ke dokter) saya minta dia untuk membawa sajadah untuk sholat Jumat.

“Ada banyak yang bawa sajadah tadi?” tanya saya.

“Nggak banyak. Kebanyakan yang di luar karpet yang pakai sajadah sendiri.”

“Kamu dapat yang di mana?”

“Yang di atas karpet. Tapi aku tetap pasang sajadah.”

Bisa dilihat kan? Kesadaran masyarakat untuk memakai sajadah sendiri masih rendah.

Amas tahu saya ke dokter, dan bagaimana hasil pembicaraan dengan dokter. Dia juga tahu hasil pemeriksaan dari RS.

°°°

Hasil Rontgen saya bagus. Tapi tidak ada pesan lain di situ selain hasil analisis yang menyatakan semuanya normal. Saya berharap di situ ada instruksi lanjutan untuk tes darah dan swab, tapi ternyata tidak ada.

Jadi pemeriksaan hanya sampai di sini saja?

Saya pun menanyakannya pada dokter dari faskes 1 saya. Beliau rajin memantau kondisi saya melalui WA. Juga bagaimana hasil pemeriksaan di RS.

“Prosedur tes apa saja yang harus dilalui untuk Covid 19 ini, Dok?”

“Awalnya di Rontgen dada dulu… Kalau hasil Rontgen ada yang mencurigakan (ada pneumonia) lanjut tes darah dan swab tenggorokan,” jawabnya.

“Dok, bukankah kalau sudah sampai pneumonia sudah lumayan parah ya?” kejar saya. Masak nunggu parah dulu alias sudah muncul pneumonianya, baru dites lanjutannya sih…

“Alat tesnya mahal dan terbatas. Jadi tidak pada semua pasien bisa dilakukan itu… Kalau Rontgen kan murah, bisa dilakukan kapan saja. Makanya setelah itu isolasi 14 hari, karena virus kalau sudah 14 hari akan mati sendiri.”

Sayangnya, pasien tidak bisa meminta tes sendiri. Harus mendapatkan rekomendasi dari dokter.

Dari dokter ini, saya mendapatkan e-poster tentang apa saja yang harus dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan isolasi diri.

Saya kembali menghubungi hotline Humas Dinkes. Melaporkan hasil dari RS. Saya tunjukkan kartu saya.

Operator tersebut mengatakan bahwa saya masuk dalam ODP. Jadi resmi nih… Status saya memang ODP.

Saya disarankan untuk menghubungi Puskesmas setempat untuk lapor sehingga mendapatkan pemantauan selanjutnya. Puskesmas Induk. Bukan Puskesmas Pembantu.

Nah … Untung saya menghubungi hotline ini. Kalau nggak mana saya tahu kalau akan ada pantauan dari Puskesmas segala…

Menurut operator, bila muncul gejala lain, bisa menghubungi Puskesmas tersebut atau RS Rujukan.

°°°

Saya pun ke Puskesmas. Mendaftar sebagai pasien, mengantri. Antriannya banyak bangeeettt!!!

Sejak awal pemeriksaan di Faskes 1, saya sangat menjaga jarak. Saya memisahkan diri dari kerumunan pasien lain, meskipun itu berarti saya harus berdiri. Kadang saya harus bergeser ke sana kemari menghindari lalu lalang orang-orang. Biarlah dibilang lebay! Saya tidak mau menularkan kuman apapun dari tubuh saya (yang mungkin saja cuma kuman batuk).

Di Puskesmas pun begini. Meski ada tempat duduk kosong, saya nggak mau duduk di situ. Terlalu berdekatan dengan pasien lain!

Akhirnya karena saya takut akan selalu menghindar seperti itu lebih lama lagi, saya bertanya ke petugas pendaftaran.

“Kalau saya mau melaporkan status ODP saya, saya harus ke bagian mana?”

“Maaf, status apa, Bu?” tanya petugas.

“Status Corona,” jawab saya.

“Oh sebentar, saya tanyakan…”

Singkat cerita, setelah menunggu sekian lama lagi, saya diarahkan untuk menuju ke suatu ruangan lain di luar gedung. Ruangan ini kecil.

Dokter minta maaf karena saya harus menunggu lama. Saat itu saya sudah di luar antrian. Mestinya saya masih harus antri sekitar 16 antrian lagi. Dicepetin nih…

Respon dan pelayanan Dokter bagus sekali. Saya diminta menjelaskan kronologis penyakit lagi, beserta riwayat perjalanan dan riwayat kontak. Dokter meminta saya menjelaskan sambil beliau melakukan perhitungan dengan kalender. Ini berkaitan dengan riwayat kontak/perjalanan dan munculnya penyakit.

Ada 3 riwayat kontak/perjalanan yang dicurigai.
– 1 Maret, bertemu teman yang baru datang dari luar negeri dimana daerah tempat tinggalnya di sana dekat sekali dengan zona merah. Teman saya sehat wal afiat.

– 6 Maret, perjalanan ke luar kota naik angkutan umum yang berjubel. Tujuannya adalah ke RS.

– 13 Maret, perjalanan ke luar kota naik angkutan umum lagi yang berjubel.

Selain itu saya di rumah. Saya memang orang rumahan. Kalaupun keluar paling cuma antar jemput si Ade dan belanja.

Tidak amat sangat mencurigakan sebenarnya, kan?

Berdasarkan perhitungan, dokter mengatakan bahwa kemungkinan yang pertama (1 Maret) sudah lewat. Aman. Lulus. Karena sudah lebih dari 14 hari. Yang tanggal 13 Maret juga lewat, karena saya mulai batuk malah dua hari sebelumnya.

Jadi kecurigaan jatuh pada tanggal 6 Maret, bila memang ada penularan. Dan 14 hari dari tanggal 6 Maret adalah tanggal 20 Maret. Jadi tanggal 20 Maret nanti saya akan aman. Kalaupun memang saya terkena si virus, virusnya akan mati dalam 14 hari itu. Tapi bisa juga saya sebenarnya tidak terkena virus tersebut.

Setelah memeriksa fisik saya, dokter mengatakan bahwa saya perlu datang ke Puskesmas 2 hari sekali. Sebenarnya boleh tiap hari, kalau ada keluhan lain. Tapi melihat bahwa batuk saya hanya sedikit dan kondisi saya stabil, maka 2 hari sekali sudah cukup.

Tidak perlu mendaftar, tidak perlu antri. Nanti akan ada petugas di dekat pintu masuk. Saya hanya perlu bilang pada petugas itu untuk periksa batuk, dia akan paham. Saya diminta menunggu dekat ruang tadi. Melegakan sekali bukan? Karena saya nggak perlu repot menjaga diri agar tidak berdekatan dengan orang lain.

Menurut saya, saya menjadi ODP hanya karena saya kebetulan batuk, kebetulan diare sebentar yang sebenarnya karena makan sambel, kebetulan HB drop, dan kebetulan bertemu dengan teman yang baru datang dari luar negeri itu (dan sebenarnya sehat).

Sayangnya kebetulan-kebetulan itu ada di sini:

Meskipun saya beranggapan itu hanya kebetulan, saya tetap semangat menjalani isolasi.

Jadi, bagaimana bila ada ‘ODP’ di sekitar kita?

Jangan panik. Tetap lakukan hal yang biasa: jaga jarak dan rajin cuci tangan. Hindari kumpul-kumpul dan keramaian. Untuk menjaga daya imun tubuh, makan buah dan sayuran lebih banyak, banyak minum air putih. Berjemur juga penting, untuk mendapatkan vitamin D yang bisa meningkatkan daya imun tubuh. Jangan lupa juga untuk istirahat yang cukup, 6-8 jam sehari.

Sebenarnya bisa saja orang yang terlihat sehat pun sama berisikonya dengan si ODP tersebut. Bahkan bisa saja yang ODP sebenarnya negatif, dan yang sehat sebenarnya positif. Bisa begitu kan?

Ada cara yang bisa kita terapkan untuk memaksa kita menjaga jarak.
1. Kita anggap bahwa kita sudah positif, dan kita tidak mau menularkan penyakit kita ke orang-orang sekitar kita.

Kalau tidak bisa seperti itu, bisa juga seperti ini:

2. Kita anggap bahwa semua orang di sekitar kita itu positif dan kita tidak mau tertular dari mereka.

Boleh pilih yang mana, sesuai dengan kondisi masing-masing.

Jadi jangan menunggu dulu ada yang positif betulan, setelah itu panik. Konon kabarnya wabah ini akan berhenti bila sekitar 20-60% penduduk di lokasi terdampak sudah terinfeksi¹. Namun kita bisa menipu si virus ini dengan menjaga jarak atau isolasi diri. Virusnya nggak ada tempat hinggap sehingga mengira sudah tidak ada lagi penduduk yang bisa ditulari.

Jadi, mari kita perangi virus ini bersama-sama. Jangan panik, jangan stres, tapi tetap waspada. [HDK]

°°°

Catatan:

Apa yang diceritakan di sini sesuai dengan kondisi pada saat itu (pemeriksaan pertama dilakukan tanggal 14 Maret 2020) yang merupakan masa-masa awal Covid 19 masuk ke Indonesia. Saat itu rapid test belum ada, untuk swab tes pun kita tidak bisa meminta sendiri. Jadi harus dengan rekomendasi dokter. Beberapa protokol pun sudah berubah. Misalnya, saat itu suhu tubuh yang diwaspadai bila tembus 38, sekarang suhu tubuh 37 saja sudah diwaspadai (tidak boleh masuk ke mall, masjid, dsb). Saat itu fasilitas umum (dalam cerita ini: Puskesmas dan RS) belum menerapkan penjarakan sehingga pasien masih duduk berdempet-dempet, sekarang penjarakan sudah diterapkan. Tempat duduk pasien diberi jarak (beberapa kursi selang seling tidak difungsikan) sehingga tidak memungkinkan adanya senggolan. Dan sebagainya.

°°°

Informasi Covid-19 Global
https://www.worldometers.info/coronavirus/

Info terkini situasi Covid-19 dalam globe
Putarlah gambar globe di sana. Bila kita letakkan jari kita di suatu negara, akan muncul info terkini situasi Covid di negara itu.
https://www.covidvisualizer.com/

Informasi Covid-19 Indonesia:
https://www.covid19.go.id/

Monitoring Covid dari Kemkes
(kita bisa melihat data per kluster, jenis kelamin, usia, dsb disini)
http://covid-monitoring.kemkes.go.id/

Informasi Covid-19 DIY
http://corona.jogjaprov.go.id

Peta Sebaran Covid-19 DIY
Bisa dilihat sampai di sekitar kode pos atau lokasi GPS.
https://sebaran-covid19.jogjaprov.go.id/

°°°

Referensi:
¹ https://www.vox.com/science-and-health/2020/3/6/21161234/coronavirus-covid-19-science-outbreak-ends-endemic-vaccine

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

2 tanggapan untuk “Bagaimana Jika Ada ‘ODP’ di Sekitar Kita?

  1. Makasih B Herlina…peejalanan berobat dsb…yg penuh liku liku, semoga.saat ini dan yad kondisi njenengan sehat sehat dan.sehat, aamiin….
    Kita semua diberi sehat dan dijauhkan dari virus tsb…dan virus tsb segera dilenyapkan Tuhan Yang Maha Kuasa, dari muka bumi ini, aamiin

    Suka

Tinggalkan komentar