Diposkan pada Cerita Gempa

Napak Tilas Gempa Jogja

[27.05.2018]

Sekedar menguji ingatan. Apa yang aku ingat dari gempa di Jogja 12 tahun yang lalu?

– Saat itu aku sedang telponan sama keponakanku, Dydha, ketika tau-tau bumi bergoncang. Aku langsung keluar sambil teriak GEMPA! Amas sedang sama bapaknya. Langsung dibawa keluar. Pertama kukira itu gempa biasa saja. Tapi kok nggak berhenti-berhenti? Mana makin lama makin kenceng. Makin lama makin panik. Rumah-rumah berguncang hebat. Lebih lama lagi aku yakin rumahku akan roboh.

– Amas (saat itu dia baru 1 tahun 9 bulan) malah lunjak-lunjak gembira dalam gendongan bapaknya. Rupanya dia senang dengan kehebohan yang terjadi. Semua orang ada di jalan kecil depan rumah.

– Mbak Ipong (ART kami) nggak keluar-keluar, bikin kami di luar panik… Setelah dipanggil-panggil akhirnya keluar juga. Rupanya dia sedang mencuci panci dan katanya nanggung banget…

– Kami sedang masak air. Kompor ditinggalkan dalam keadaan menyala. Nggak kepikir untuk matikan dulu baru lari keluar.

– Setelah gempa berhenti kami merasa lega sekali. Tidak terpikir di daerah lain ternyata gempanya mengakibatkan kerusakan yang sangat parah.

Kupandangi Merapi. Minggu-minggu itu Merapi memang sering terbatuk-batuk, bahkan sempat meletus. Kulihat asap mengepul dari kubah lava. Mungkinkah Merapi?

Untung saat itu pegang HP. Jadi setelah gempa reda kami bisa kasih tau situasi yang dialami pada keluarga besar. Beberapa menit kemudian hubungan terputus hingga berjam-jam kemudian.

– Heboh tsunami sekitar 2 jam kemudian. Hoax yang beredar, tsunami sudah sampai ring road 3,5 km dari rumah kami. Kami nggak percaya. Tapi tetangga-tetangga pada panik. Hampir semua mengeluarkan kendaraan. Amas hampir dibawa oleh tetangga untuk diselamatkan. Aku keluar rumah sambil ngeteng-eteng radio mini dan teriak, “Itu nggak benar… Di sini dibilang tidak ada tsunami. Kota Jogja masih aman, belum tenggelam. Nggak mungkin tsunaminya sudah sampai ring road.”
Amas pun nggak jadi dibawa.

– Dari radio Sonora aku dapat informasi bahwa gempa itu berskala 5,9 skala Richter, dengan durasi “hanya” 59 detik. Padahal rasanya lama sekali, bermenit-menit kayak nggak akan berhenti.

Selanjutnya, Sonora menjadi andalan informasi tentang gempa, termasuk bagaimana koordinasi penyaluran bantuan. Info siapa yang masih membutuhkan bantuan tersedia lengkap di sana.

– Dari siaran TV, kami jadi tahu bahwa dampak gempa itu ternyata besar sekali… Memakan ribuan korban dan merobohkan ratusan ribu rumah.

– Mbak Ipong risain lebih awal dari yang direncanakan (dia memang mau menikah). Rumah orangtuanya di Bantul roboh rata tanah. Dia harus menemani orangtuanya melewati masa-masa sulit. Pernikahannya diajukan.

Calon pengganti ART yang sudah disiapkannya tidak jadi kerja di tempat kami, karena dia menjadi korban gempa. Tulang punggungnya patah hingga lumpuh.

– Susah sekali cari susu buat Amas. Di semua toko, susu sudah diborong untuk disumbangkan ke korban gempa. Ini yang membuat aku dan Amas akhirnya mengungsi ke Solo selama 5 hari. Saat persediaan barang-barang sudah normal kami balik ke Jogja.

– Gara-gara susah dapat penggantinya mbak Ipong, di bulan Juni Amas mulai ber-‘sekolah’.

– Sebenarnya masih banyak kenangan tentang gempa Jogja ini. Tapi kalau ditulis semua nggak bakal selesai-selesai.

Berarti lumayan ya, ingatanku masih tergolong baik.

Semoga Jogja selalu aman…

Love Jogja and you! 😘
(Loh kok jadi Geronimo?)

Gambar: Monumen Pusat Gempa di Pundong, Bantul. (https://m.detik.com/news/berita/3218999/10-tahun-gempa-yogya-warga-bantul-gelar-renungan-sejak-subuh)

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar