Diposkan pada Kesehatan

Horor Amandel

[19.12.2016]

Dulu, saat aku masih SD, aku pernah dengar rumor bahwa sakit radang amandel (tonsilitis) bisa menyebabkan seseorang menjadi bodoh. Tentu saja aku nggak percaya. Amandel ada di sekitar tenggorok, sementara otak ada di kepala. Bagaimana mungkin sakit di sekitar tenggorok bisa menyebabkan seseorang menjadi bodoh? Kalau penyebabnya karena rasa sakit itu mengganggu konsentrasi, mengapa batuk-pilek-flu tidak dikenai tuduhan menyebabkan seseorang menjadi bodoh?

Aku bukan si ranking 10 besar. Tapi lumayan lah, nilaiku nggak jelek-jelek amat. Untuk pelajaran-pelajaran tertentu yang aku sukai, nilaiku berkisar antara 8 sampai 9 koma. Untuk pelajaran yang nggak kusukai, nggak pernah lah di bawah 6.

Di suatu saat di kelas 2 SMP, tetiba nilai-nilai ulanganku anjlok. Antara 1-4! Saat ulangan, aku benar-benar tidak bisa memahami soal yang aku hadapi. Kayaknya sulit banget, gitu… Kusangka semua teman juga mengalami kesulitan seperti aku. Nyatanya tidak! Nilai mereka bagus-bagus! Hanya aku yang nilainya jelek!

Ternyata apa yang kualami menjadi perhatian wali kelasku. Mungkin dia banyak mendapat laporan dari guru-guru yang lain yang takjub dengan penurunan hasil belajarku. Aku pun diajak bicara. Yang pertama ditanyakan, apakah aku ada masalah dengan teman atau di keluarga. Aku menggeleng. Aku adalah anak yang berbahagia di antara teman-teman dan keluarga. Akuuuu… manisss… (Hmmm… Silakan muntah… 😝).

“Atau kamu sakit?”

“Entahlah Ibu… Saya tidak merasa sedang sakit. Tidak pilek, tidak batuk. Hanya memang sejak hari Senin kemarin ada yang aneh dengan kepala saya. Saya tidak bisa mengatakannya dengan tepat. Ini bukan pusing, tapi kepala saya tidak nyaman sekali. Seperti mengambang. Itu saja…”

Dan memang sejak hari Senin itulah nilai-nilaiku mulai anjlok. Saat itu kebetulan pas musim ulangan.

Nampak ibu guruku berpikir.

“Nanti bilang ya pada orangtuamu, bahwa kamu perlu ke dokter. Ceritakan juga hasil ulanganmu minggu ini…”

Jadi sepulang sekolah, aku segera bercerita pada ibuku seperti disarankan guruku itu. Aku bilang juga kalau hal itu disarankan oleh guruku.

Buru-buru ibuku telepon bapakku untuk aanvraag kendaraan kantor untuk membawaku ke dokter anak di Pemalang sore itu. Saat itu aku tinggal di Comal. Perjalanan dari Comal ke Pemalang memakan waktu sekitar 35-45 menit.

Setelah memeriksa dengan teliti, dokter anak mengatakan aku mengalami radang amandel yang sudah kronis, sehingga harus segera dioperasi. Amandelnya tidak membesar, tapi jelas sekali bahwa itu sudah kronis. Beliau menyarankan segera setelah dari tempat prakteknya kami langsung ke dokter THT. Dibuatkannya surat pengantar.

Dokter THT itu ternyata memiliki pemikiran yang sama dengan dokter anak tadi. Kami pun membuat perjanjian untuk operasi keesokan harinya. Untuk dua anak: aku dan adikku. Ya… kami berdua! Ibuku tetiba ingin Pak Dokter memeriksa juga adikku, dan ternyata dia juga berpenyakit yang sama. Tapi aku nggak usah cerita tentang adikku ya…

Karena penasaran dengan rumor yang aku dengar yang nggak kupercayai itu tapi ternyata aku mengalaminya, maka aku tanya ke dokter THT itu, apakah nilai-nilaiku yang menukik tajam ada hubungan nya dengan penyakitku itu. Dan Pak Dokter memberikan penjelasan yang sangat masuk akal dan bisa kucerna.

“Saat amandelmu sakit, nafasmu terganggu. Oksigen yang kamu hirup akan diedarkan ke seluruh tubuhmu, termasuk otak. Saat oksigen yang terhirup sedikit, pasokan ke otak pun jadi sedikit. Itu menyebabkan kamu tidak bisa berpikir seperti biasanya. Hasilnya, nilai-nilaimu pun jadi turun.”

Kurang lebih begitu penjelasannya.

Jadi besoknya aku pun dioperasi. Meski deg-degan, aku tidak takut menjalaninya. Aku yakin semua akan baik-baik saja. Bayangan akan makan es krim setelah operasi selesai membuatku tetap happy.

Dengan mantap aku menuju ke kursi operasi. Di sana ada dokter lain (ternyata itu dokter anestesi). Ada perawat juga.

Pembiusan dilakukan melalui hidung. Hidungku ditutup dengan suatu corong yang mengeluarkan bau nggak enak. Dokter menyuruhku untuk menghirup bau itu.

Aku memiliki reflek yang sangat baik untuk menahan nafas pada saat ada bau nggak enak. Jadi, tanpa kusadari, aku tahan nafasku sebisa mungkin. Saat sudah tidak kuat aku ambil nafas, kemudian aku tahan lagi. Lama-lama aku tidak ingat apapun.

Kemudian aku terbangun. Mulutku sudah mulai dibuka. Kulihat gunting berada beberapa cm di depan mulutku. Mataku terbelalak. Dokter dan perawat pun terkejut karena aku tetiba terbangun tepat menjelang operasi dimulai.

Buru-buru Pak Dokter meletakkan kembali guntingnya. Kemudian dia menginstruksikan pada perawat untuk membantunya memompa perutku. Nampak mereka kalang kabut.

Setelah dirasa obat bius yang terlanjur masuk ke tubuhku sudah pada keluar, aku dibius lagi. Kali ini Pak Dokter memberikan instruksi berulang-ulang.

“Ayo dihirup! Jangan ditahan ya nafasnya… Ayo terus dihirup, sambil menghitung satu sampai seratus! Hey… jangan ditahan nafasnya! Ayo dihirup!”

Aku lupa sampai hitungan ke berapa aku masih bisa menghitung. Yang terjadi kemudian adalah, sayup-sayup kudengar lagu La Paloma yang dimainkan dengan orgen oleh seseorang di ruangan sebelah. Makin lama makin jelas. Lalu kubuka mataku. Seselesainya lagu itu, Pak Dokter menengok ke kamar.

“Oh, kamu sudah sadar…”

Setelah aku diperbolehkan makan, sebuah baki kecil diantarkan ke tempat tidurku. Mataku berbinar-binar. Ini dia yang kutunggu-tunggu!

Betapa kecewanya aku saat kubuka tutupnya. Hanya agar-agar dingin!

“Mama, kapan es krimnya keluar?” tanyaku pada ibuku.

Aku tentu hanya iseng bertanya pada ibuku. Nggak berharap sama sekali itu disampaikan ke Pak Dokter. Eh… ibuku sampaikan itu ke Pak Dokter! Malu sekali jadinya… 🙈🙈🙈

Pak Dokter menjelaskan bahwa dulu dia pernah memberikan es krim pada pasien ciliknya setelah siuman dari operasi amandel. Eeee… si pasien tersedak saat makan es krimnya. Alhasil, terjadi pendarahan pada luka bekas operasi. Setelah itu dia tidak berani lagi kasih es krim. Dia minta maaf untuk itu.

Bayangan yang menyenangkan yang akan kudapatkan setelah operasi segera lenyap. Ibuku menghiburku. Dia berjanji akan membelikanku es krim kalau luka operasiku sudah sembuh.

Untung saja aku tau hal itu setelah operasiku berlalu. Kalau sebelumnya? 😫😫😫

Untungnya lagi, aku tersadar sebelum operasi dimulai dan mataku tidak diplester sehingga dokternya tau bahwa aku tersadar. Tidak seperti yang dialami oleh mbak dari Inggris ini: http://www.dailymail.co.uk/femail/article-3386834/Woman-recalls-horror-woke-surgery-endured-15-minutes-pain-staff-realised-conscious.html.

Yeah… Orang Jawa, apa-apa memang selalu untung! 😀

Catatan:
Tulisan ini dibuat bukan untuk menakut-nakuti anak terkait operasi amandel. Kejadian terjaga di tengah operasi merupakan kejadian yang jarang terjadi, apalagi dalam kasusku jelas itu karena kesalahanku yang tidak menghirup obat biusnya dengan sempurna.

#anesthetic_awareness #intraoperative_recall

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar