Diposkan pada Dalam Negeri, Jalan-jalan, Jogjakarta

Serunya ke Museum Malam-malam

[11.12.2016]

Senang sekali tinggal di Jogja! Pokoknya love Jogja banget, deh! Apalagi di sini ada 2 komunitas asik yang nggak ada duanya: Penjelajah Langit dan Night at the Museum.

Sekilas kegiatan kami dengan Penjelajah Langit sudah pernah aku ceritain beberapa bulan yang lalu. Saat kemping di Punthuk Kendil dulu itu…

Yang sekarang, aku mau share pengalaman kami saat mengikuti Amazing Race di Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Soedirman dua minggu yang lalu, 26 Nopember 2016. Kata mas Erwin, Ketua NaTM, ini adalah museum ke-8 yang bersedia membukakan pintu di malam hari untuk Komunitas “Night at the Museum” (sekarang namanya sudah ganti menjadi Komunitas “Malamuseum”).

Kenalan dulu dengan museumnya ya… Gedung ini pernah menjadi tempat tinggal Jenderal Soedirman dan keluarga dari tahun 1945 sampai 1948 pada saat beliau menjabat sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat. Setelah itu beralih fungsi. Sempat menjadi Markas “Informatie Geheimen Brigade T” tentara Belanda pada masa agresi militer II; antara 1949 hingga 1968 menjadi Markas Komando Militer Kota Yogyakarta, Asrama Resimen Infanteri XIII dan Penderita Cacat; dan antara 1968-1982 difungsikan sebagai Museum Angkatan Darat. Mulai tahun 1982 hingga kini gedung ini berfungsi sebagai Museum Sasmitaloka* Panglima Besar Soedirman.

Di museum ini tersimpan segala perabotan yang digunakan oleh Jenderal Soedirman saat masih tinggal di sana, ditambah dengan perabotan dan peralatan lainnya pada saat beliau melakukan perang gerilya. Juga berbagai senjata, tandu, dan beberapa kendaraan yang digunakan dalam perang itu.

Apa gunanya kita menyimpan barang yang benar-benar pernah digunakan sang tokoh? Apakah kemudian tidak menjadikannya sebagai pengkultusan? Well, sebenarnya tujuannya hanya untuk menggambarkan bagaimana keadaan pada masa itu. Bagaimana alat komunikasi, transportasi, senjata, bahkan juga kursi, meja, dipan, dan peralatan makan yang digunakan pada saat itu akan memperkaya pemahaman kita tentang masa itu. Aku bahkan bisa membayangkan, teman-teman indigo pasti bisa mendapatkan informasi yang lebih lengkap lagi tentang masa itu dengan adanya barang-barang tersebut.

Kami tiba di museum itu sekitar pukul 18.30. Sambil menunggu acara dimulai, kami keliling museum sekalian berorientasi. Ade bilang dia pernah ke museum itu saat outing sekolahnya. Dia ceritakan padaku ruangan itu untuk apa-ruangan ini untuk apa. Hehe… dapat pemandu gratis!

Acara dimulai pukul 19.10. Kami berkumpul di teras untuk mendengarkan sambutan dari Kepala Museum. Nampaknya PSGGC Jogja menyumbang peserta yang lumayan banyak: sepertiga dari total peserta! Semua peserta anak-anak adalah sumbangan dari kami. 😀

Setelah sambutan, kami diajak berkeliling museum (again!) selama sekitar 30-45 menit. Tentu kali ini dengan pemandu resmi. Beliau bercerita cukup lengkap tentang Jenderal Soedirman. Dari kehidupan keluarga sampai taktik perang yang digunakan.

Keren loh taktik yang digunakan saat perang gerilya di Ambarawa. Taktiknya dikenal sebagai supit urang. Bentuknya memang seperti supit urang, dimana gerilyawan membentuk formasi seperti supit yang terbuka yang kemudian terus merangsek maju seakan-akan supitnya menutup. Musuh akan terjepit di tengah-tengah.

Ada juga cerita menarik saat Pak Dirman dirawat di rumah sakit. Dalam sakitnya, beliau masih menyempatkan diri untuk mengatur strategi karena beliau tau sebentar lagi tentara NICA akan memasuki Jogja. Beliau juga membuat puisi untuk salah satu suster di Panti Rapih! Ini replika ruangan di Rumah Sakit Panti Rapih tempat pak Dirman dirawat. Nampak pak Dirman masih bekerja pada saat dirawat.

Nyesel sekali mengapa kok nggak jeprat-jepret di bagian situ. Tembok sebelah kanan sebenarnya ada gambar pintu kecil yang bisa bolak-balik yang mengarahkan ke ruangan lain: semacam ruang tamu. Jadi dalam kondisi yang sesungguhnya, begitu masuk kamar kita akan menemui ruang tamu, kalau mau lihat pasien yang dirawat kita mesti masuk lagi melalui pintu kecil yang bisa bolak-balik itu. Eh… ruangannya kok mirip dengan tempat aku melahirkan Alle dulu ya… Gambarannya persis benar!

Sebenarnya masih banyak lagi cerita menarik yang ingin kutulis. Kalau kutulis semua, takutnya jadi buku. Hihihi… Jadi kalian mending ke sana sendiri deh…

Sekarang aku ingin cerita bagaimana asiknya kami ber-amazing race.

Setelah mendapatkan penjelasan mengenai perjuangan Jenderal Soedirman, tibalah saatnya untuk ber-amazing race. Tujuan permainan kali ini agar kami bisa menghayati apa yang dilakukan oleh Pak Dirman saat itu. Bagaimana mengatur strategi untuk menangkap musuh, di saat yang bersamaan juga mengatur strategi agar tidak ditangkap oleh musuh. Peserta dibagi menjadi 6 kelompok: 3 kelompok sebagai pasukan Belanda, dan 3 kelompok sebagai pasukan Soedirman. Karena ada 5 anak yang terlibat, panitia berencana akan membagi rata mereka pada kelompok-kelompok yang ada, alias mereka akan berpencar. Kami tentu saja menolak, karena anak-anak itu bakalan tidak terkendali kalau dipisahkan dari pawangnya. 😁 Panitia pun menurut. Jadi kami membentuk 2 kelompok dan mendapat nomor-nomor bontot: Kelompok 5: Mbak Yori, Izam, Mbak Danik, dan Galih; dan Kelompok 6: aku, Amas, Ade, dan Keenan-nya mbak Citra. Kelompok 5 menjadi pasukan Belanda, dan Kelompok 6 pasukan Soedirman.

Permainannya begini. Masing-masing peserta diberi warna. Kami mendapatkan warna merah. Kelompok 5 mendapat warna coklat. Untuk kelompok lain ada warna hijau, biru, kuning, dan oranye.

Masing-masing kelompok harus mengejar kelompok musuhnya, dan dikejar oleh kelompok musuh yang lain. Masing-masing kelompok tau siapa yang harus dikejar, namun tidak tau siapa yang mengejarnya. Seru kan?! Kami diperintah untuk mengejar Kelompok Kuning. Kelompok apa ya kira-kira yang mengejar kami?

Setiap kelompok harus memilih siapa pemimpinnya, namun siapa pemimpin itu harus dirahasiakan dari kelompok lain. Mau tau siapa pemimpin kami? Dia adalah… sssttt… Keenan! Jangan bilang-bilang ya…

Panitia memberi 6 lembar kertas warna merah. Kertas pertama dibaliknya berisi aturan permainan, kertas ke-2 sampai 5 berisi pertanyaan, dan kertas terakhir bertuliskan SOEDIRMAN (untuk pihak musuh bertuliskan BELANDA). Kertas-kertas itu mesti dipasang di punggung. Satu kertas untuk satu anggota. Karena anggota kami ada 4, tentu kelebihan 1 lembar kertas. Kami kembalikan ke panitia. Pemimpin terpilih ditempeli kertas yang disebaliknya bertuliskan SOEDIRMAN atau BELANDA. Para anggota di sebalik kertasnya isinya pertanyaan-pertanyaan terkait dengan Pak Dirman.

Kami diberi tugas untuk menangkap musuh yang sudah ditentukan. Menangkapnya dengan cara mengambil kertas yang ada di punggung itu. Untuk kelompok kami, kami harus mengambil kertas warna kuning di punggung musuh kami. Setelah terambil, kita mesti balik kertas itu untuk mengetahui apakah kita sudah menangkap pemimpinnya atau belum. Kalau pemimpinnya sudah kita tangkap, maka kelompok musuh kita gugur. Kalau ternyata yang tertangkap bukan pemimpinnya, maka kita harus mengisi pertanyaan yang ada di sebalik kertas itu, dan menempelkannya di markas besar (di bangunan utama musium bagian belakang). Kemudian kita mesti terus mencari siapa pemimpinnya.

Setelah semua anggota pasukan terpahamkan dengan aturan permainannya, kami disebar. Kami harus waspada dengan semua orang, karena kami tidak tau siapa yang mengincar kami.

Eeeehhh… Belum-belum kertas di punggungku sudah diambil musuh. Hwaaaaa…. Mengetahui hal itu Amas, Tata dan Keenan langsung berlarian. Aku membayang-bayangi Keenan sambil mencari-cari orang-orang dengan kertas punggung kuning. Eh terus Amas ‘tertangkap’ juga. Dari Amas kami tau kalau yang mengejar kami Kelompok Hijau. Wah… mesti hati-hati nih sama Kelompok Hijau. Keenan sempat pula hilang dari pandanganku. Ah… Biarlah… Mungkin dia memang bersembunyi.

Ade tertangkap! Hwaaaa… Tapi berkat tertangkapnya Ade, kami jadi lebih fokus untuk mencari musuh kami.

Tiba-tiba mataku melihat Keenan dikejar-kejar musuh. Dia pemimpin kami, kalau dia tertangkap habislah kami! Dan dia nyaris tertangkap! Musuh kami bahkan sudah berhasil “ndemok” kertas di punggungnya! (Ndemok itu bahasa Indonesianya apa ya? 😂 Kertasnya baru terpegang sedikit, tapi masih nempel di punggung Keenan). Kami berjuang jangan sampai mereka berhasil mencabutnya. Sobek dikit! Nggak papa lah, yang penting selamat. Dan Keenan kemudian berlari entah kemana.

Hei… Amas berhasil mendapatkan kertas hijau. Ade juga! Amas dapat 2, dan Ade 1. Meski saat dibalik ternyata isinya pertanyaan. Dan tak seorangpun dari anak-anak itu yang mau menjawabnya. 😫 Mereka berlari dan berlari lagi!

Masih kurang kuning satu lagi, dan pasti itu adalah pemimpinnya! Tetiba terdengar teriakan… “Kuning! Kuning!” Entah siapa dari mereka bertiga yang berteriak. Kami pun mengejar si Kuning. Pasti dia pemimpinnya. Betapa kecewanya kami, setelah bersusah payah mengejarnya dan akhirnya Keenan berhasil meraih kertas di punggungnya, ternyata tidak bertuliskan BELANDA. Isinya hanya pertanyaan. Bukankah semua kelompok anggotanya 4? Mestinya kertas ke-4 milik pemimpinnya kan? Atau kami salah hitung jumlah anggotanya? Segera pertanyaan-pertanyaan yang ada kujawab, karena anak-anak sudah kembali berlarian. Lembaran-lembaran kertas itu kemudian kutempel di markas.

Kami meneruskan pencarian pemimpin Belanda musuh kami. Tidak ketemu-ketemu juga. Bahkan kami sudah mencarinya sampai kolong-kolong tempat tidur dan balik-balik pintu. Sembunyi di mana ya dia?

Singkat cerita (hihi… Singkatnya baru sekarang. Padahal sudah terlanjur nulis panjang lebar… 😁), waktu permainan sudah habis. Pemimpin kami selamat, namun kami juga tidak berhasil menangkap pemimpin musuh. Ada 4 kelompok yang survive, termasuk kelompok 5 (kelompoknya mbak Yori, Izam, mbak Danik, dan Galih). Kelompok 5 itu enak banget… Musuh yang harus mengejar mereka sudah gugur sejak awal, jadi tugas mereka hanya menangkap musuh lainnya.

Acara dilanjutkan dengan makan bersama. Saat kami beristirahat sambil makan malam, panitia melakukan penilaian untuk menentukan siapa pemenangnya. Penilaian didasarkan dari benar tidaknya jawaban yang diberikan, serta cepat lambatnya menangkap musuh. Kelompok kami menjadi juara 3! Masing-masing dari kami mendapat tiket untuk berkunjung ke 2 museum lain: Museum Jogja Kembali dan Museum Affandi.

Acara selesai tepat pukul 21.30 WIB, dan ditutup dengan foto bersama. Seperti biasa, saat berfoto kami bersama-sama meneriakkan slogan: “MUSEUM DIHATIKU!”

*Sasmitaloka: tempat untuk mengingat

Foto-foto:
http://sudirman.museumjogja.org/id/collection/110-replika-bangsal-rspanti-rapih

https://www.instagram.com/malamuseum/

http://fidyafaridah.blogspot.co.id/2014/11/v-behaviorurldefaultvmlo.html?m=1

https://sasmitalokabercerita.wordpress.com/2009/10/28/museum-sasmitaloka-pangsar-soedirman-yogyakarta/

dokumen pribadi Nina dan Yori

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar