Diposkan pada Nguri-uri Budaya

Kelahiran Putri Kawung

[02.10.2016]

Sudah lama sekali aku tidak mengunjungi blog ini. Ini adalah blog milik KUBe Putri Kawung yang kami buatkan pada bulan Agustus 2012. Surprise… pengunjungnya kini sudah mencapai lebih dari 85.000 (update Feb 2019: 143ribu-an, -red).Padahal posting terakhir 3,5 tahun yang lalu. Aku lupa password-nya. 😂 Produk mereka sekarang tentu jauh lebih bagus daripada yang dulu! Harga juga tentulah sudah naik…

Hmmm… jadi ingat pertama kali kami (aku, Ninik, dan Titik) berkenalan dengan para pembatik Putri Kawung dari Bayat ini di pertenghn tahun 2012. Saat itu Putri Kawung belum dibentuk. Mereka masih menjadi buruh batik dengan upah Rp5.000,00 sehari. Ya… Lima ribu rupiah! Nggak salah baca, itu!

Kami mengadakan need assessment sebelum membagikan ilmu kami pada mereka. Job yang biasa mereka hadapi bervariasi… Ada yang biasa bertugas membuat pola, mencanting, atau mewarna. Pendidikan mereka relatif rendah, dari yang tidak lulus SD, sampai lulus SMP. Suka duka sebagai buruh batik kami gali, juga apa yang menjadi keinginan, harapan, atau cita-cita mereka yang sesungguhnya. Surprise sekali mengetahui bahwa mereka tidak ada yang ingin menjadi juragan batik. Kami pun menggali mengapa mereka tidak memiliki keinginan itu.

Ternyata itu bukan karena tidak ingin, melainkan karena mereka tidak berani. Mereka tidak berani memimpikan itu karena merasa itu hal yang tidak mungkin bisa tercapai. Untuk menjadi pengusaha dibutuhkan modal. Dan mereka merasa tidak memiliki modal yang cukup. Disamping itu, mereka pun merasa tidak memiliki kemampuan untuk menjadi pengusaha. Kami pun bertanya, menurut mereka kemampuan apa saja yang dibutuhkan untuk menjadi pengusaha? Dari jawaban mereka, intinya adalah kemampuan untuk memproduksi dan berdagang.

Kami pun membahas alur yang dilalui dari awal sampai akhirnya kain batik bisa terjual. Sambil bertanya pada tiap-tiap step, siapa saja yang bisa melakukan itu. Sampai pada step terakhir: distribusi. Ternyata semua step bisa terisi oleh semua yang ada di situ. Jadi… mengapa mereka tidak menjadi pengusaha bersama-sama saja?

Mereka berembug, nampaknya tergugah oleh kemungkinan ini. Namun masalah modal ternyata masih membuat mereka termangu.

Kami pun membahas darimana saja mereka mungkin mendapatkan modal: swadaya dengan cara iuran beramai-ramai, kemungkinan mendapatkan modal dari pihak luar: bantuan pemerintah, pihak swasta, atau meminjam bank. Pokoknya selama ada keinginan, pasti akan ada jalan.

Kami tinggalkan mereka, dan berjanji untuk datang lagi minggu depannya. Dan yang terjadi minggu depannya sungguh membuatku tidak bisa menahan airmataku keluar.

Saat kami datang, kelompok sudah terbentuk. Mereka bahkan sudah memberi nama kelompok itu: Kelompok Usaha Bersama “Putri Kawung”. Setiap bulan mereka akan iuran dengan besaran tertentu, dan uang yang terkumpul itu yang akan dijadikan modal. Mereka mulai berproduksi dengan modal yang sudah terkumpul. Betapa bersemangatnya mereka!

Pembagian kerja pun sudah dibuat. Siapa akan mengerjakan apa, dengan upah seberapa. Bersyukur sekali mereka ternyata bisa mencerna hasil diskusi sebelumnya, sehingga upah bagi para pembatik lebih tinggi daripada upah yang diberikan oleh juragan lain pada umumnya.

Beberapa minggu sebelumnya kami pernah berdiskusi mengenai dampak upah yang hanya Rp5.000,00 per hari untuk buruh batik. Dampaknya cukup mengerikan. Hal ini membuat pekerjaan sebagai buruh batik tidak terlihat “seksi” sehingga tidak dilirik oleh kaum muda di sekitar sana. Pekerjaan sebagai asisten rumah tangga justru lebih dilirik karena memberikan pemasukan yang lebih tinggi. Dampak bagi dunia perbatikan, bukan tidak mungkin suatu saat batik akan punah karena tidak ada lagi orang yang mau mengerjakannya.

Lagipula jelas terlihat adanya ketimpangan di sini, dimana pengusaha batik bisa meraup keuntungan sedemikian tinggi (mengingat harga batik tulis bisa ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah) sementara buruh pembuat batik hanya bisa hidup sekadarnya.

Waktu pun berlalu. Secara berkala kami mengunjungi mereka, sambil menanyakan kebutuhan-kebutuhan mereka. Misalnya, ketika mereka merasa kemampuan mewarna masih sangat mendasar, kami datangkan teman-teman pembatik dari Giriloyo, Bantul (di kemudian hari, pembatik dari Giriloyo ini bahkan menjadi reseller mereka). Kami juga mendatangkan pemilik batik Sogan, yang kebetulan dulunya adalah mahasiswa kami, untuk berbagi mengenai pengalamannya, terutama mengenai distribusi.

Kami juga menghubungkan mereka dengan pemerintah Klaten, agar mereka bisa mendapatkan informasi bila ada bantuan dari pemerintah berupa tambahan pengetahuan atau materi.

Kami juga berhubungan dengan beberapa teman dosen yang mengajar Pendidikan Kewarganegaraan. Dengan alasan bahwa ini untuk mewujudkan rasa cinta sebagai bangsa pada kebudayaan yang dimiliki, mereka mengkoordinir para mahasiswa mata kuliah PKn untuk belajar batik secara massal. Instruktur didatangkan dari Bayat (Putri Kawung), dan para pembatik relasi kami di Giriloyo. Ini memberikan beberapa keuntungan pada para pembatik ini: pengalaman, materi, dan image diri yang lebih tinggi.

Kami bertiga pun kadang kala memecah diri dengan membuat kelompok yang beranggotakan teman lain dengan keahlian yang berbeda, misalnya teman yang memiliki keahlian IT atau pembukuan keuangan, untuk berbagi pengetahuan kepada teman-teman Putri Kawung.

Aku sendiri sudah lama tidak mengunjungi markas Putri Kawung di Bayat, meski kadang-kadang bertemu dengan salah satu anggotanya, Bu Ratmi. Bu Ratmi adalah saat salah satu penggerak Putri Kawung. Secara berkala dia datang ke Jogja ke rumah temanku, mengantarkan pesanan batik. Saat itulah aku bisa berkangen-kangenan dengan bu Ratmi, dan menanyakan kabar tentang Putri Kawung.

Sekilas tentang bu Ratmi, dia adalah sosok yang kukagumi di Putri Kawung. Aku menangkap keistimewaannya sejak pertama kali bertemu. Saat itu kami mengadakan ice breaking sebelum acara, untuk memecah kebekuan sehingga para buruh batik itu merasa santai ketika berhubungan dengan kami. Kami beri tebakan yang sulit yang mesti dipecahkan dalam kelompok. Sulit tetapi gayeng, karena mereka dengan kreatif mencari jawaban atas permasalahan yang disodorkan. Saking kreatifnya sampai maksa banget! 😂 Kelompok bu Ratmi adalah satu-satunya yang bisa memecahkan permasalahan itu dengan baik.

Bu Ratmi hanya sempat mengenyam pendidikan sampai kelas 4 SD. Meski demikian, terlihat sekali bahwa dia cerdas dan trengginas. Dia yang memasarkan produk-produk Putri Kawung. Tak segan dia pergi sendiri ke suatu tempat untuk mengantarkan pesanan. Kalau ke Jogja, dia diantar oleh suami atau anak laki-lakinya.

Sekarang dia bahkan sudah menjadi juragan batik, yang memiliki pekerja sendiri. Sambil memasarkan batik Putri Kawung, dia memasarkan batiknya sendiri juga.

Oh iya, rasanya perlu diinformasikan, batik yang dipasarkan Putri Kawung tidak semuanya produksi Putri Kawung. Beberapa titipan dari para juragan di lingkungan situ. Ini simbiosis mutualisme. Di satu sisi Putri Kawung tidak bisa memenuhi semua pesanan yang masuk, di sisi lain para juragan melihat bahwa menitipkan produk ke Putri Kawung cukup menguntungkan bagi mereka. Ini juga membuat Putri Kawung menjadi lebih bisa diterima, tidak dianggap musuh atau saingan. Di awal berdirinya dulu, Putri Kawung sempat merasakan cibiran dari beberapa juragan batik di sekitar, karena para juragan itu merasa terancam takut kehilangan pekerja bila semua bergabung ke Putri Kawung untuk menjadi “pengusaha bersama”. Para juragan juga merasa mendapatkan saingan baru.

Ada cerita bu Ratmi yang membuatku menitikkan air mata (maaf yaaaa… memang bawaan lahirku itu gembeng! 😀). Dia bercerita, kalau dia dan teman-teman sekarang bisa membatik sambil tersenyum. Membatik sambil bergembira. Membatik dengan penuh cinta. Tidak seperti sebelumnya saat menjadi buruh batik berbayaran rendah, banyak dari mereka yang membatik sambil menangis. Dan itu sudah selama bertahun-tahun dijalani. Demikian banyak kebutuhan hidup yang tidak bisa dipenuhi dari hasil kerja keras mereka.

Putri Kawung terus maju. Seorang teman yang menjadi reseller produk-produk Putri Kawung bercerita, “Uangnya Putri Kawung masih ada di aku, hasil penjualan selama 7 bulan. Waaah, aku kaget banget setelah selesai ngitung, ternyata aku mesti menyetor 40 juta ke mereka!”. Nggak nyadar dia kalau sudah jualan banyak! 😀

Masih banyak pe-er kami sebetulnya. Teman-teman Putri Kawung masih belum bisa memanfaatkan teknologi informasi, meski beberapa kali dari kami memberi pelatihan pada mereka. Mereka juga belum terampil memanfaatkan media sosial untuk memasarkan produknya. Bila ada beberapa produk Putri Kawung yang beredar di medsos, itu karena reseller-nya yang meng-apload. Putri Kawung juga masih belum memiliki kepercayaan diri yang tinggi dalam menjual produknya dengan harga mahal. Produknya “hanya” dijual dengan harga sekitar 350.000-600.000-an. Padahal batikannya halus sekali. Kami pernah melihat hasil produksi pengusaha lain yang harganya beberapa ratus ribu di atas hasil produksi Putri Kawung, padahal masih lebih bagus dan halus hasil produksi Putri Kawung!

Semoga Putri Kawung semakin maju! Semoga batik Indonesia semakin jaya!

Blog Putri Kawung:
https://putrikawung.wordpress.com/about/

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar