Diposkan pada Jalan-jalan, Luar Negeri, Singapura

Planetarium yang Bikin Penasaran

[13.06.2016]

Ada yang berbeda antara planetarium di Taman Pintar Jogja dengan Omni Theater di kompleks Science Centre Singapura.

Kita bicara di Jogja dulu. Planetarium di sini mini. Tidak masalah… Yang penting edukasi pada masyarakat bisa berjalan dengan lancar. Filmnya menarik dan informatif. Kalau tidak salah ingat, bagian teaternya mirip dengan yang ada di Bosscha (dulu saat SMP pernah main ke sana). Layar cekung seperti setengah bagian bola terletak di bagian atas, di kubah. Kita penonton mesti menyandarkan bagian punggung kursi sejauh mungkin, hingga kita seperti rebahan saat meletakkan punggung ke sana. Narasi yang disampaikan mengiringi film seperti rekaman. Tapi seorang teman menginfo kalau itu sepertinya bukan rekaman, hanya saja naratornya ‘bersembunyi’ sehingga tidak kelihatan. Terdengar seperti rekaman karena tidak interaktif.

Bagaimana dengan di Omni Theater?

Heran sekali saat pertama kali masuk. Layar tidak melulu di atas, melainkan dari depan hingga atas. Layar cekung raksasa! Aku semakin heran saat memperhatikan bahwa sandaran kursi tidak bisa digerakkan, nggak seperti di Jogja yang bisa digerakkan sampai ke belakang sekali sampai kita seperti setengah berbaring. Di Omni Theatre, sandaran kursi sudah mentok dengan “tembok” di belakangnya. Kursinya seperti di gedung bioskop, bertingkat antar baris. Jarak antar baris cukup tinggi, sehingga tidak mungkin pandangan kita akan terganggu oleh orang tinggi di depan kita.

Seseorang mulai bicara di depan. Dia menjelaskan beberapa hal sebelum film diputar. Diantaranya, kami diperbolehkan mengambil gambar selama berada di dalam ruangan, asalkan lampu blitz tidak dinyalakan.

Kemudian film diputar. Film yang kami pilih adalah film tentang planet di alam semesta, terutama di galaksi Bimasakti. Meleset dari yang aku pikirkan sebelumnya, orang itu tetap di situ. Kupikir dia akan segera pergi meninggalkan kami setelah memberikan kata sambutan. Tidak! Dia terus berbicara saat ruangan digelapkan, menceritakan apa yang ada di depan. Sesekali dia bertanya pada audiens.

“Do you know why we can’t call Pluto a planet?”

Seorang anak laki-laki di belakang meneriakkan jawaban, tentang orbit Pluto yang menabrak orbit planet lain di Galaksi Bimasakti. Juga seorang perempuan di depan, yang menjelaskan bahwa ukuran pluto terlalu kecil untuk disebut sebagai planet.

“Yeah so many reason why we can’t call Pluto a Planet.”

Saat itu aku baru benar-benar yakin bahwa narasi itu disampaikan secara live, bukan rekaman. Interaktif sekali!

“What is the name of this satellite?” tanyanya saat gambar menunjukkan planet Jupiter dan satelit-satelitnya.

“Io….” teriak seorang anak. Bunyinya seperti “Ayo…”.

“That’s right! Do you know why it’s named Io?”

Nggak ada yang menjawab. Beberapa detik kemudian, dia menunjukkan jawabannya.

“It’s named by itself!” jawabnya sambil menunjukkan gambar Io yang semakin membesar, “memutarnya” sampai pada titik dimana ada tulisan “Io” di body satelit itu.

Pertunjukan pun berjalan terus. Heran… Makin lama aku makin merasa seperti setengah berbaring. Aku coba berbagai cara untuk memastikan bahwa aku sedang duduk, tapi nggak berhasil juga.

Aku memejamkan mata sambil menginstall ke pikiranku bentuk dari teater ini. Berhasil… Aku tau, kalau aku mencondongkan tubuh ke depan, aku pasti terjungkal sambil koprol menggelinding sampai depan. Begitu membuka mata, bayangan itu hilang lagi… Ini setengah berbaring! Jadi selama menikmati pertunjukan, seringkali muncul godaan untuk mencondongkan tubuh ke depan untuk membuktikan bahwa itu bukan setengah berbaring. Hihihi…

Pertunjukan berjalan sekitar 40 menit. Ada 4 pilihan film yang kesemuanya sudah terjadwal. Kami memilih film yang berjudul “Earth, Moon, and Sun”.

Masih banyak film yang belum kami tonton. Berarti masih ada PR untuk ke sana lagi.

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar