Diposkan pada Dalam Negeri, Gifted, Jalan-jalan, Magelang

Kemping Seru di Punthuk Kendil

[14.04.2016]

Tulisanku ini sebenarnya sudah dipublikasikan di blog lain, yaitu blognya Parents Support Group for Gifted Children Jogjakarta. Tepatnya di sini . Tapi tak apa… Biar semakin banyak yang baca, semakin banyak yang kepingin ke sana. 😀

°°°

Sebenarnya sudah lama sekali kami ingin kemping. Tapi rencana tinggal rencana, mengingat susah banget menyatukan waktu luang. Sekitar seminggu yang lalu, entah ada pembicaraan apa, tetiba kami teringat dengan rencana ini. Dan Tante Yori, yang aktif mengikuti kegiatan di komunitas Penjelajah Langit (PL), menceritakan lokasi asyik untuk kemping, yang didapatnya dari mas Nazir (dari PL). Tentu saja lokasi ini tidak terbayangkan sebelumnya: Punthuk Kendil, Borobudur, Magelang.

Segera diadakan pemungutan suara untuk tanggal-tanggal yang memungkinkan. Syaratnya: jangan terlalu lama, karena kalau terlalu lama nanti nggak jadi lagi seperti dulu itu. Dan setelah melalui diskusi yang alot, akhirnya ditentukan tanggalnya: 9-10 April 2016. Itu hanya satu minggu dari saat kami berdiskusi! Tentu banyak yang tidak bisa ikut. Hanya 5 keluarga yang bisa. Tapi tak mengapa, beberapa bulan lagi kami akan mengadakan kemping seru lagi di tempat yang lebih luas, yang semoga saja bisa diikuti oleh lebih banyak anggota.

Sepanjang minggu itu yang terbayang di benak kami adalah serunya kemping dengan mengundang teman-teman dari Penjelajah Langit 😁. Apalagi setelah Tante Citra dan keluarga survey ke sana dan membagikan beberapa foto dan video. Nggak sabar rasanya menunggu hari Sabtu!

Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu tiba juga. Kami berangkat sekitar pukul 14.30 WIB. Hujan deras menyertai perjalanan kami. Lokasinya tak jauh dari candi Borobudur, hanya sekitar 15 menit dari pintu gerbang Candi. Ke arah barat daya, melalui jalan kecil yang berliku-liku dan sedikit menanjak. Tepat menjelang tanjakan yang cukup curam kami berhenti. Sekitar pukul 15.45 sampailah kami di rumah Pak Tijab yang artistik. Pak Tijab itu pemilik lahan tempat kami mendirikan tenda.

01. IMG-20160406-WA0029
Rumah Pak Tijab
02. IMG-20160411-WA0060
Ada 2 gazebo seperti ini di depan rumah Pak Tijab
03. IMG-20160406-WA0031
Kolam ikan di bawah gazebo

Kami parkir di sekitar rumah Pak Tijab. Dua mobil di depan rumah pak Tijab, satu mobil di seberangnya. Teman-teman dari Penjelajah Langit baru akan datang malamnya, dan mendapat tempat parkir di lahan kemping. Hujan tidak lagi sederas tadi. Meski demikian, kilat berulang kali memotret kami, tentu disusul oleh suara guntur yang menggelegar. Keras sekali suaranya terdengar di dataran tinggi. Kami dijamu oleh Pak Tijab dengan teh dan berbagai suguhan. Serasa berkunjung ke rumah kerabat di desa!

04. IMG_20160413_045416
Serasa bertamu di rumah kerabat di desa

Kami mulai mendirikan tenda pada sekitar pukul 5 sore. Hujan rintik menjadi pengiring kami saat memasang tenda. Lahannya berada di antara kebun ketela, sekitar 20 meter dari rumah Pak Tijab. Kira-kira bisa memuat sekitar 8 tenda, plus space untuk api unggun. Ada gardu pandang dari bambu di bagian kiri.

05. IMG-20160410-WA0020
Pasang tenda yuuuk…
06. IMG-20160412-WA0037
Lahan perkemahan dilihat dari rumah Pak Tijab

Usai mendirikan tenda, tim dapur umum mulai bekerja. Kami berencana memasak lauk pauk sendiri untuk makan malam. Ngirit banget yah… Tapi bawaan jadi banyak banget, sampai Amas komentar, “Ibu tuh mau kemping kok bawaannya segitu banyaknya!” 😛 Kalau nasinya sih sudah siap makan sejak dari rumah. Bahkan masih terasa hangat saat sore itu kami membukanya. Kami masak-masak di depan teras pak Tijab. Mengetahui kami akan masak-masak di sana, segera pak Tijab memasang tabir untuk menghalangi angin agar tidak mengganggu nyala api.

07. IMG_20160413_045217
Diberi penghalang angin agar masaknya lancar
09. 20160409_183824
Lihat, penggorengannya imut bener… Tuh macan sudah siap ngicip aja…
10. 20160409_185221
Koki paling kereeennn…. Masaknya pakai headlamp

Sekitar pukul 8 malam, sayur sup, bakwan dan sate jamur siap disantap. Masaknya lama sekali yah… Bisalah dibayangkan, kami memasak dengan 2 kompor imut, satu panci kecil, dan satu penggorengan yang super imut juga. Jadi perlu dua kali masak sup untuk memenuhi perut lapar 22 orang (termasuk mas-mas dan mbak-mbak dari PL). Untuk menggoreng bakwan, hanya 2 bakwan yang bisa dihasilkan sekali goreng. Betapa sabarnya koki-koki kita itu! Beruntung sekali kami dibantu oleh sepasukan krucil yang dengan gembira membakar sate jamur. Sate jamur ini sumbangan dari tante Anita. Mmmm…. yummy… Terima kasih, Tante…

11. IMG-20160411-WA0016
Te… Sattteeeee….

Teman-teman Penjelajah Langit datang sekitar pukul 20.00 WIB. Pas banget dengan waktu makan kami… 😀 Mereka terdiri dari empat orang: Mas Eko Hadi, Mas Iqra’, Mbak Merda, dan Mbak Fadhila. Ada sedikit masalah saat memarkir mobil, sehingga mobil teman-teman PL sempat selip. Rupanya ini menjadi obyek pengamatan yang mengasyikkan bagi anak-anak.

Setelah leyeh-leyeh seusai makan, kami menuju ke tenda. Nampaknya api unggun sudah mulai bisa dinyalakan di sana. Teman-teman PL sudah menyiapkan acara khusus untuk anak-anak: ngobrolin astronomi di alam terbuka! Mereka membawa dua buah binokuler. Sayang saat itu langit mendung. Hanya nampak satu titik kecil planet Jupiter di angkasa raya.

12.IMG_1748
Berkenalan dengan Penjelajah Langit

Anak-anak kemudian dibagi menjadi 2 kelompok. Sebenarnya ada 9 anak yang ikut, namun 2 orang masih terlalu kecil: satunya umur 3 tahun dan satunya lagi masih TK A. Jadi satu kelompok berisi 3-4 orang. Dua anak kecil-kecil itu boleh gabung dimanapun. Diskusi pun dimulai.


Video diskusi dengan Penjelajah Langit: Keenan asyik bercerita tentang black hole.

.

14. IMG_1755
Liat apa, Cedric?

Diskusi diakhiri dengan kuis. Siapa yang bisa menjawab kuis akan mendapatkan stiker. Bagi yang sudah berhasil menjawab, nggak boleh lagi mengikuti kuis berikutnya. Gila… pertanyaannya susah-susah banget! Dan lebih gila lagi, anak-anak bisa menjawabnya. Ada pertanyaan seperti ini, “Satelit alam terbesar planet Saturnus apa ya namanya?” David yang berada nun jauh di sana (jauh dari gerombolan) menjawab, “Titan!”

Sekarang tinggal Cedric (5 tahun) yang belum menjawab pertanyaan. Saat ditawari stiker (dengan syarat harus menjawab pertanyaan dulu), Cedric bilang, “Cedric mau jawab asal jangan di’ye-ye’in”.

Tentu mas Iqra’ (dari PL) bingung apa maksudnya. Jadi kami jelaskan, biasanya kalau anak-anak bisa jawab pertanyaan sulit kan langsung pada bilang “Yeeeeee….” kan… Nah, Cedric nggak mau digituin. Mas Iqra’ janji nggak akan nge-‘yeye’-in Cedric. Jadi Cedric mau diberi pertanyaan.

Pertanyaannya: “Apa nama ‘planet’ yang memotong jalur planet lain?”

Dan Cedric menjawab, “Pluto!”

Tau apa yang terjadi kemudian? Tanpa sadar mas Iqra’ berteriak, “Yeeeeee….!” Dan kami spontan tertawa sambil menunjuk-nunjuk mas Iqra’ yang langsung menutup mulutnya.

Cedric cemberut, dia berkata, “No photo, no yeye… Nanti Cedric kesal…”

Jadi kami bilang, “Itu tadi nggak yeyein Cedric, tapi yeyein Keni…”

Cedric berpikir sebentar, kemudian bertanya, “Mengapa Keni diyeyein?” Tentu maksudnya: atas dasar apa Keni diyeyein? 😁

Kemudian dia memisahkan diri dari gerombolan, menuju ke bawah gardu pandang. Di situ ada bangku. Cedric minta pada Mommy untuk mengeluarkan kertas dan spidol. Dia ingin menulis-nulis.

“Mohon dilarang fotoin Cedric,” tulisnya di satu sisi kertas. Dan “Mohon dilarang yeyein Cedric” di satu sisi yang lain. Kertas itu kemudian diberikannya pada mas Iqra’. Sayang kami tidak terpikir untuk memotret kertasnya itu.

Setelah diskusi selesai, api unggun dinyalakan. Sayang anak-anak sudah terlalu lelah. Apalagi mengingat besok paginya mereka harus bangun sekitar pukul 4 pagi agar tidak terlalu siang sampai di puncak. Jadi anak-anak segera masuk ke dalam tenda masing-masing. Nampaknya api unggun kemudian dinikmati oleh para pembesar (orang-orang besar, orang-orang dewasa 😀 ). Kami tidur dengan diiringi ‘lantunan’ wayang yang sengaja disetel oleh pak Tijab.

15. 13001242_10206061437047811
Api unggun!

Paginya terjadi keajaiban. Anak-anak ternyata mudah sekali dibangunkan! Rupanya mereka pada semangat untuk menikmati sunrise. Sebelum berangkat, anak-anak menyempatkan diri untuk mengamati langit. Mendung masih menutupi angkasa raya. Kali ini hanya satu titik yang terlihat. Planet Venus.

Kami berangkat sekitar pukul 04.50 WIB. Semua senter yang kami punya kami bawa. Jalanan masih gelap sekali, tidak ada lampu jalan di sana. Lagipula jalanan sangat menanjak. Jadi keberadaan senter sangat membantu kami.

16. IMG-20160411-WA0022
Penunjuk jalan di tengah pendakian

Sekitar 25 menit kemudian, sampailah kami ke puncak. Masih gelap! Kabut menyelimuti pemandangan di kejauhan. Kami menunggu 25 menit untuk menyaksikan terbitnya matahari. Bulan April ini matahari terbit tepat di atas puncak Lawu. Menurut pak Tijab, sekitar bulan Agustus matahari akan terbit tepat di titik antara gunung Merbabu dan Merapi. Jadi teringat lukisan kita saat masih SD dulu! Ooops… ketahuan tuanya!

17. IMG_1770
Mataharinya belum bangun!
18. IMG-20160412-WA0009
Sunrise!

Pemandangan di atas sungguh luar biasa. Pak Tijab menunjukkan gunung-gunung yang mengitari Magelang. Dimulai dari sisi kanan (timur), Lawu, Merapi, Merbabu, Telomoyo, Prau, Sumbing, Sindoro, Tidar, pegunungan Menoreh. Gunung-gunung itu seolah-olah membentuk gelang, dengan Borobudur berada di tengah-tengahnya. Tentu tidak persis di pusatnya. Menurutnya penjelasan Pak Tijab, hal inilah yang membuat ‘Mahagelang View’ menjadi terkenal.

Kabut perlahan menghilang. Pemandangan berangsur semakin jelas. Kali ini nampak seperti bila kita melihat google map dengan mode ‘satelite view’, hanya saja kita tidak bebas menggerakkan jemari untuk memperbesar pemandangan. Untungnya teman-teman dari Penjelajah Langit tidak lupa membawa binokuler mereka. Anak-anak – dan juga ortunya – bergantian mengintip melalui alat tersebut.

19. img1460499539810
Gantian ya…

Ada lima gardu pandang atau rumah pohon di puncak. Gardu-gardu itu terbuat dari bambu. Satu gardu di sisi kiri, dua di sisi kanan, satu di tengah, dan satu lagi di depan. Yang di depan itu dibuat lebih menonjol dari datarannya, seperti tempat berlabuh kapal kalau di pantai, hanya saja di sekitarnya bukan air melainkan jurang. Jadi hanya yang bernyali tinggi saja yang mau memanfaatkan gardu itu. Eh, tapi banyak juga loh yang sliwar-sliwer ke sana, termasuk anak-anak. Bahkan Feliz yang ngakunya takut ketinggian juga dengan santainya bolak-balik ke sana. Ketahuan deh kalau cuma mengaku-aku… 😂

20. Feliz
Ini anak yang mengakunya takut ketinggian. Tidak terbukti! 😂

Wisatawan cukup dimanja di sana. Selain gardu pandang, ada juga beberapa gazebo yang dilengkapi dengan bangku. Ada pula semacam gardu yang tidak begitu tinggi dan tidak dilengkapi dengan pagar (entah apa namanya!) di tengah sekumpulan bunga. Lucu sekali saat tak sengaja menoleh kudapati Ozzie (2 th 9 bulan) berada di puncak ‘gardu’ itu. Seperti boneka di atas tumpeng! Beberapa saat kemudian anak-anak lain menemaninya di puncak tumpeng. Btw, Ozzie ini mendaki sendiri loh dari rumah pak Tijab hingga puncak, tanpa digendong!

21. Foto0954
Di pucuk bunga ada anak-anak!

Beberapa bangku tanpa atap juga tersedia. Letaknya jauh lebih di depan dibandingkan dengan bangku-bangku yang ada di Gazebo. Enak sekali duduk-duduk sambil menikmati “Mahagelang View” di sini, sambil mengunyah roti yang sudah disiapkan oleh Tante Helen. Oh ya, bagi yang ingin ke belakang, ada 2 buah toilet yang cukup bersih di sini.

Tak terasa, satu setengah jam sudah kami menikmati indahnya pemandangan di puncak. Masih ada beberapa agenda yang lain yang tak kalah mengasyikkannya. Jadi kami putuskan untuk kembali ke bawah. Sebelum turun, foto-foto dulu yuuuuuk….

22. IMG-20160412-WA0017
Foto bareng dulu…

Di tengah perjalanan pulang, kami mampir ke salah satu peternakan lebah. Banyak penduduk di daerah itu yang beternak lebah madu. Di sana anak-anak ditunjukkan bagaimana madu dihasilkan. Anak-anak bahkan boleh mencicipi madu dari sarangnya langsung. Sarangnya itu enak juga ya rasanya… Kenyal-kenyal gimana gitu… Sarang lebah ini banyak manfaatnya loh… Dikenal juga sebagai propolis. Propolis sering digunakan dalam pengobatan, mengandung antibiotik alami dengan efek samping yang jauh lebih kecil dari antibiotik pabrikan, juga mengandung zat anti kanker.

23. IMG-20160412-WA0013
Menyimak penjelasan tentang lebah madu
24. img1460503669110
Sarang lebah madu
25. img1460503846689
Mencicipi propolis

Kami sampai kembali ke rumah pak Tijab sekitar pukul 07.15 WIB. Masih pagi, ternyata… Rasanya sudah banyak sekali yang kami lakukan sepagian itu… Kami ngobrol-ngobrol sambil menunggu makanan siap. Ssst… sebenernya kami pesan makanannya untuk jam 11 loh… Untuk brunch… Breakfast sekalian lunch! Kami pikir pagi-pagi cukup lah sarapan pakai roti. Ternyata jam segitu kami sudah kelaparan meski sudah diisi roti dan propolis.

Pak Tijab mengajak anak-anak memainkan gamelan. Sebagian anak sudah mendapatkan pelajaran di sekolah tentang alat musik khas Jawa ini beserta nama-nama ‘anggota keluarga’-nya macam bonang, saron, kenong, gong, dsb, namun belum pernah memainkannya. Senang sekali melihat mereka asyik belajar dengan cara seperti itu.


Video belajar memainkan gamelan: Anak-anak – dan bapak ibunya – belajar memainkan lagu “Sluku-sluku Batok”

.

Pak Tijab juga mengenalkan tentang wayang pada anak-anak. Pak Tijab memang seorang dalang. Dia mulai mendalang sekitar tahun 1970-an pada saat berusia 14 tahun. Pertama yang dikenalkannya adalah gunungan, yang ternyata merupakan simbol dari kehidupan manusia mulai dari gua garba (rahim) sampai tua. Anak-anak juga dikenalkan dengan tokoh-tokoh Pandawa yang baik yang diletakkan di bagian kanan dan tokoh-tokoh Kurawa yang jahat di bagian kiri kelir. Kelir adalah layar untuk memainkan boneka-boneka wayang. Selain mengenalkan Pandawa dan Kurawa, pak Tijab juga mengenalkan tokoh-tokoh Punakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Sebagai hadiah untuk anak-anak, pak Tijab memainkan Goro-goro. Dalam pementasan yang sesungguhnya, Goro-goro biasanya ditampilkan pada saat tengah malam, sebagai selingan antara satu scene dengan scene lainnya. Isinya berupa banyolan yang menghibur dan kerap kali menyiratkan pesan atau nasihat. Tokoh dalam Goro-goro ini adalah Janoko (Arjuna) dan keluarga Punakawan. Konon Sunan Kalijogo lah yang memasukkan Goro-goro dalam “SOP” pementasan wayang kulit, ketika menyebarkan agama Islam dulu.

27. IMG-20160410-WA0037
Menyimak “Goro-goro”

Setelah selesai memainkan Goro-goro, Pak Tijab memberikan wejangan dalam bahasa Indonesia pada anak-anak.

“Belajar yang rajin ya biar pintar… Jangan merokok, jangan minum… Belajar bahasa Inggris, bahasa Inggris itu penting. Jangan seperti Pak Tijab. Dulu pak Tijab pernah ngomong gini ke tamu-tamu bule ‘sleeping Mr. Tijab…’ Orang-orang pada tertawa jadinya. Maksudnya sih mau menawarkan mereka tidur di rumah pak Tijab…”

Eh, masalah ‘jangan minum’ ini ternyata membuat anak-anak bingung. Mengapa nggak boleh minum? 😀

Ada cerita lucu yang tertangkap dari Cedric (5 tahun) terkait hal ini. Cedric membahas terus masalah ini dengan mommy-nya. Nggak selesai-selesai! Dia bingung karena Mommy sering bilang ‘minum yang banyak’ sementara pak Tijab malah bilang ‘jangan minum’.

C: “Kok nggak boleh minum? Kalau haus gimana?”

M: “Itu minuman alkohol…”

C: “Alkohol itu apa?”

M: “Minuman yang bisa menghilangkan kesadaran…”

C: “Bentuknya cairan ya?”

M: “Iya…”

C: “Kok bisa hilang kesadaran kalau minum alkohol?”

Sampai situ mommy-nya kewalahan menjawabnya. 😂😂😂 Apalagi kemudian Cedric ingin melihat seperti apa alkohol itu. Hwaaa….

Setelah selesai ‘pementasan’ Goro-goro, teman-teman dari Penjelajah Langit pamit pulang, mengingat acara lain sudah menunggu di Jogja. Kami senang sekali mereka mau bergabung dalam kemping ini dan berharap bisa sering-sering mengadakan acara semacam ini di Jogja. Jadi hal ini kami sampaikan pada mereka.

“Mas Eko, kalau PSGGC mengadakan kegiatan seperti ini lagi, bisa mengundang Penjelajah Langit lagi kan…”

“Tentu bisa…” jawab mas Eko. Kemudian dia melanjutkan, “PSGGC itu apa ya?”

“Parents Support Group for Gifted Children. Kelompok dukungan untuk orangtua yang anaknya gifted,” demikian penjelasan singkat kami.

“Gifted itu apa ya?” tanya mas Eko lagi.

“Gifted itu… kalo orang jaman dulu menyebutnya jenius. Sekarang dikenal sebagai cerdas istimewa,” kami mencoba menjelaskan dengan bahasa yang bisa dimengerti banyak orang.

“Oooh… Pantas diskusi mereka jauh di atas umurannya… Jarang sekali lho anak-anak seusia segitu yang tau tentang satelit alam, black hole, dan semacam itu. Beberapa waktu yang lalu saat kami datang ke sekolah Izam juga pembahasannya nggak sampai ke sana-sana…”

Izam (9 tahun) itu anaknya Tante Yori. Dia punya minat tinggi pada astronomi.

Setelah ‘brunch’ kepagian, acara bebas. Beberapa anak memanfaatkannya untuk mandi. Meskipun udara di sana tidak dingin (bahkan pada malam hari), namun airnya dingin sekali. Seger jadinya… Kemudian bapak-bapak dan anak-anak membongkar tenda. Tata dan Feliz betah banget bermain di gardu pandang di lahan perkemahan.

Sebentar… Sebelum tendanya dibongkar, diambil gambarnya dulu ya dari jendela rumah Pak Tijab…

28. Foto0974
Pemandangannya bagai lukisan
29. IMG-20160410-WA0006
Ayo bongkar tendanya!
32. img1460610987130
Ade dan Feliz

Sekitar pukul 11.30 WIB kami berpamitan. Tidak ada 24 jam kami berada di sana, namun pengalaman yang kami dapatkan berkesan sekali. Anak-anak terlihat gembira, dan nampaknya ketagihan ingin kemping lagi.

Bye-bye Pak Tijab… Semoga di lain waktu kami bisa ke sana lagi…

Ooops… cerita ini belum selesai!

Malamnya di rumahnya, Izam yang demikian terkesan dengan wayang kulit pak Tijab minta mamanya membuatkan wayang, demikian juga Keni adiknya. Jadi deh, semalaman itu mamanya ngelembur bikin wayang. Ozzie yang terkesan dengan peristiwa heroik pemberian pertolongan pada mobil Penjelajah Langit yang selip, mencoba merekonstruksi peristiwa itu. Feliz (7 tahun) dalam tugas mingguan di sekolahnya untuk mengisi diary, tentu saja menceritakan pengalamannya mengikuti kemping dalam bahasa Inggris.

30. IMG-20160411-WA0067
Wayang bikinan Mama
31. IMG-20160410-WA0030
Rekonstruksi mobil Penjelajah Langit yang selip, by Ozzie
IMG-20160414-WA0030
Diary Feliz di sekolah (1)
IMG-20160414-WA0031
Diary Feliz di sekolah (2)

Melihat respon anak-anak yang seperti itu, bukan tidak mungkin kami akan menyelenggarakan acara seperti ini lagi!

[Just Nina]

Foto-foto:
– Dokumen PSGGC Jogja
http://yogakurnianto.blogspot.co.id/2016/01/gupakan-kendil.html (foto insert pada foto “Ini anak yang mengakunya takut ketinggian”)

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar