Diposkan pada Sains

Mitologi Gerhana di Pulau Jawa

[23.03.2016]

Dulu waktu kecil aku sering denger bahwa masyarakat jaman dulu menganggap peristiwa gerhana (bulan/matahari) adalah peristiwa dimana bulan/matahari dimakan oleh buto. Kemudian karena penduduk memukul-mukul lesung, buto-nya jadi takut, dan bulan/matahari pun dimuntahkannya.

Ternyata lengkapnya seperti ini. Sedikit berbeda dari apa yang aku dengar saat kecil dan yang hanya saumplik itu.

•••

Rahu adalah raksasa atau masyarakat Jawa menyebutnya sebagai “Buto” yang lahir dari pernikahan Dewi Sinhika dan Maharsi Kasyapa. Rahu dengan Bathara Wisnu adalah satu ayah beda ibu sehingga keduanya masih memiliki hubungan darah. Dari hasil pernikahannya dengan Maharsi Kasyapa, Dewi Sinhika memiliki 4 orang putra yakni Sucandra, Candrahantri, Candrapramardana dan yang terakhir adalah Rahu.

Rahu sangat benci sekali dengan Bathara Surya (Dewa Matahari) dan Bathara Soma (Dewa Bulan). Saking bencinya tak jarang Matahari dan Bulan sering dimakan Rahu yang telah abadi dengan bentuk berupa kepala raksasa. Kebencian Rahu terhadap kedua dewa tersebut berawal dari pengaduan keduanya kepada dewa wisnu yang menyebabkan leher rahu terpotong dan abadi dengan hanya memiliki kepala saja tanpa badan maupun kaki tangan.

Disebutkan pada suatu hari berkumpullah para dewa untuk meminum air keabadian yang bernama “Tirta Amreta.” Melihat hal itu Rahu yang memiliki wujud raksasa menjelma menjadi dewa agar dapat meminum “Tirta Amreta” dengan harapan kekal abadi seperti yang di alami oleh para dewa. Setelah Rahu berganti wujud menjadi dewa dengan percaya diri si raksasa besar ini ikut berkumpul bersama para dewa. Seluruh dewa saat itu tidak menyadari bahwa sesungguhnya Rahu adalah raksasa bukan dewa. Rahu berhasil menipu seluruh dewa dan dapat meminum “Tirta Amreta.”

Baru seteguk Tirta Amreta yang diminumnya, dua dewa yakni dewa Matahari dan dewa Bulan kemudian menyadari bahwa Rahu sejatinya bukanlah dewa melainkan raksasa. Mengetahui hal tersebut keduanya memberitahu dewa Wisnu bahwa Rahu adalah raksasa. Dengan gerak secepat kilat, dewa Wisnu mengeluarkan senjata cakra dan melemparkannya ke arah leher Rahu hingga cakra tersebut memotong habis leher Rahu. Kini tubuhnya terbelah menjadi dua bagian yaitu kepala dan badan. Hal tersebut dilakukan oleh dewa Wisnu agar Tirta Amreta tidak masuk kedalam tubuh rahu yang tergolong Asura atau kalangan bukan dewa melainkan raksasa. Namun apa yang dilakukan oleh dewa Wisnu ternyata sudah terlambat. Tirta Amreta ternyata telah diminum dan telah sampai di tenggorokan Rahu. Kepala Rahu yang telah tersentuh Tirta Amreta tetap abadi dan mengembara ke angkasa sedang badannya mati dan jatuh ke Bumi hingga suaranya bagaikan gunung yang longsor.

Kebencian Rahu terhadap dewa Matahari dan Bulan muncul setelah kepalanya terpenggal akibat pengaduan kedua dewa tersebut. Rahu yang hanya berwujud kepala raksasa tanpa tubuh dapat terbang ke angkasa dan akan selalu mengejar-ngejar Bulan dan Matahari. Jika Matahari dan Bulan tertangkap maka tak segan-segan Rahu akan langsung memakannya dan hal inilah yang menyebabkan adanya gerhana.

Menurut cerita rakyat yang telah turun temurun (gugon tuhon), saat leher Rahu di tebas oleh dewa Wisnu tubuh Rahu jatuh ke tanah dan berubah menjadi lesung. Sejak saat itu orang-orang pada zaman dahulu meyakini bahwa dengan memukul lesung berkali-kali sama halnya seperti memukul-mukul tubuh atau perut Rahu. Karena perutnya dipukuli, kepala Rahu yang sedang memakan Bulan atau Matahari mendadak menjadi pusing mabuk kepayang dan masyarakat berharap agar sesegera mungkin Rahu memuntahkan kembali Bulan atau Matahari yang baru dimakannya sehingga Bulan atau Matahari bersinar kembali seperti sedia kala.

Selain menggunakan lesung masyarakat Jawa juga menggunakan kentongan dan memukul batang pohon kelapa untuk menciptakan bunyi bunyian. Ketika gerhana telah usai masyarakatpun berhenti memukul lesung dan kentongan sebagai tanda bahwa Rahu/batara kala telah memuntahkan Bulan maupun Matahari. Selain nama “Rahu”, masyarakat Jawa juga sering menyebut raksasa ini sebagai Bathara Kala namun bukan Bathara Kala putra bungsu dari Sanghyang Manikmaya.

•••

Btw, cerita tentang mitos ini bisa menguatkan logika kita, karena kita bisa menunjukkan ketika seseorang atau sekelompok orang tidak tau apa yang sesungguhnya terjadi, untuk menjelaskan peristiwa itu mereka akan mereka-reka bagaimana suatu peristiwa bisa terjadi. Dan karena ilmu yang ada tidak terjangkau pada masa itu, maka penjelasannya ya melalui cerita “khayalan” seperti ini.

Di jaman sekarang, dimana kita mengetahui penjelasan yang ilmiah yang insya Allah lebih masuk akal, ketika kita sandingkan kedua pemikiran itu (pemikiran mitos vs pemikiran ilmiah) terlihat sekali jauh perbedaannya. Anak-anak jadi bisa belajar sejarah pemikiran manusia. Sama halnya ketika mereka mengetahui pada jaman dahulu, ketika belum ada teknologi apa-apa, manusia bisa menciptakan perangkat dari batu. Sesuatu yang luar biasa, bukan?

[HDK]

•••

Sumber:
http://kafeastronomi.com/mitologi-gerhana-di-pulau-jawa-dan-bali.htm

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar