Diposkan pada HIV & AIDS

Masih Ada Stigma dan Bias Itu

Kami jarang menyetel TV. Tapi beberapa minggu yang lalu di bulan November saat Amas pengen nyetel TV aku mendapati iklan ini. Sambil mengerjakan banyak hal, sambil lalu mendengarkan iklan itu. Kok kupingku keriting ya? Saking keritingnya sampai mulutku nggak tahan untuk ngomel-ngomel di depan seorang tamu yang datang untuk mengambil sertifikat talkshow tentang anak gifted. Tentu saja si mbak kebingungan.

Itu iklan kampanye tes HIV pada ibu hamil. Maksudnya tentu saja baik. Ada banyak kasus dimana banyak ibu hamil yang tidak menyadari bahwa dirinya mengidap HIV, kalau kehamilan ini diteruskan tanpa pantauan, dikuatirkan bayi akan tertular. Apabila ibu hamil bisa terdeteksi sejak dini bahwa dia mengidap HIV, maka dia akan mendapatkan perawatan dan pengobatan untuk AIDS, dan pencegahan agar bayi tidak tertular dari si ibu.

Tapi apakah kehidupan akan berjalan semulus itu? AIDS membawa stigma. Masih banyak masyarakat yang berpandangan negatif pada pengidap HIV ( = ODHA = orang dengan HIV dan AIDS). Seseorang yang mengidap HIV pastilah seseorang yang pernah berbuat dosa, layaklah dia mendapatkan hukumannya. Di dalam iklan itu, mitos itu pun muncul, saat si ibu menyatakan, “Untuk apa tes HIV? … Kita kan orang baik-baik…” Dan sayangnya mitos itu tidak dibantah oleh pemeran yang lain, meninggalkan kesan pada pemirsa bahwa orang baik-baik tidak akan terinfeksi HIV. Disamping itu, dengan pengetahuan mengenai penularan HIV yang masih minim, masih banyak anggota masyarakat yang ingin mengucilkan ODHA karena takut tertular. Jadi ada dua masalah besar yang mendasari pengucilan: stigma negatif dan takut tertular.

Ada hal lain yang membuatku geregetan melihat iklan itu. Bagaimana posisi suami dalam tes HIV itu tidak disinggung sama sekali. Jadi kampanye tes HIV ditujukan bagi ibu hamil saja. Mengapa bukan pada suaminya juga? Meskipun tidak menutup kemungkinan si ibu mendapatkan HIV melalui jarum suntik, pemakaian narkoba, atau transfusi, tapi lebih besar kemungkinannya dari hubungan seksual. Iklan ini seolah-olah menisbikan peranan suami dalam penularan HIV. Ada banyak kasus dimana ibu hamil pengidap HIV dituduh mertuanya berselingkuh hingga mendapatkan virus itu, sementara si suami tidak diketahui kondisinya karena tidak mau menjalani tes tersebut. Suami yang mengidap HIV yang tidak tes akan meneruskan mata rantai penyebaran HIV.

Satu lagi. Prinsip tes HIV adalah VCT (voluntary counseling and test). Tes HIV harus dilakukan atas dasar sukarela dan melalui konseling. Terkait dengan hal ini, iklan itu lumayanlah, karena isinya bukan mewajibkan melainkan hanyalah himbauan. Namun pada praktiknya, masih banyak daerah yang mewajibkan tes HIV pada ibu hamil.

Tentang pelaksanaan VCT pada ibu hamil, bila pasangan tersebut sukarela untuk melakukan VCT, yang perlu dilakukan adalah konseling pre-test pada pasangan tersebut (bukan hanya pada ibu hamilnya tok) mengenai perilaku/tindakan berisiko. Apakah selama ini di antara mereka ada yang memakai narkoba, mendapatkan darah transfusi, melakukan hubungan seks yang tidak aman dengan selain pasangannya itu (nggak harus selingkuh, bisa jadi bila salah satunya sebelumnya terikat perkawinan dengan orang lain, atau si suami memiliki beberapa orang istri). Pada petugas medis bisa ditambahkan risiko tertular virus ini dari luka terbuka ketika merawat pasien ber-HIV. Kalau memang tidak ada risiko, tes HIV tidak perlu dilakukan. Setelah tes, akan ada konseling post-test baik pada mereka yang hasilnya positif maupun negatif.

Jadi meskipun misalnya programnya memang berjudul “pengurangan risiko penularan HIV dari ibu hamil ke bayinya”, mestinya peran pasangan tetap disertakan. Prosedur VCT pun perlu dijalankan dengan benar.

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar