Diposkan pada Kenangan, Musik

Memori Piano Mini

[16.02.2015]

Aku nggak tau darimana bapakku punya ide untuk memberikan hadiah sebuah piano mini saat ulang tahunku yang ke-5. Barang itu pasti mahal, untuk ukuran keluarga kami saat itu. Penampakannya sangat mirip dengan piano beneran, seperti yang terlihat pada gambar ini.

Menurutku, itu bukan mainan. Itu miniatur piano. Ada kakinya, ada kursinya juga. Kalau tutupnya di buka, akan terlihat pipa-pipa kecil yang berjajar dari panjang sampai pendek. Ada tiga oktaf, dengan tuts putih dan hitam yang semuanya bisa berbunyi dengan baik kalau ditekan. Kalau tuts ditekan, sesuatu di atas tuts akan memukul pipa-pipa. Pipa-pipa itu yang kemudian berbunyi. Bunyinya mirip dengan piano besar: berdenting! Pipa yang panjang akan membunyikan nada rendah. Semakin pendek semakin tinggi nadanya. Tutsnya tetap bisa berbunyi dengan baik, meski kita tekan beberapa sekaligus.

Agar aku bisa memainkannya, bapakku membuatkan buku lagu. Rapi sekali bikinannya. Ada sekitar enam atau tujuh lagu di situ, antara lain Abang Jentik, Gundul Pacul, Naik ke Puncak Gunung (lainnya aku lupa!). Karena pada saat itu aku belum bisa baca, bapakku membuatkan not tidak dengan angka, tapi dengan warna. Dia buat pakai spidol permanen, di tuts piano dan di buku. Masing-masing tuts dalam satu oktaf memiliki warna yang berbeda. Jadi ada 7 warna yang dipakai. Misalnya, hitam untuk Do, hijau untuk Mi, ungu untuk Si. Aaah… hanya itu yang kuingat.

Yang di tuts piano juga rapi. Gambar persegi panjang berwarna itu tidak terlalu besar ukurannya, jadi tidak menutupi seluruh tuts. Juga tidak terlalu kecil. Mungkin ukurannya sekitar 3 x 10 mm. Untuk membedakan antara satu oktaf dengan yang lain, untuk oktaf paling rendah di bawah persegi itu diberi titik (bentuknya jadi seperti “!”), sementara untuk oktaf yang paling tinggi titiknya ada di atas (bentuknya jadi seperti “i”).

Gambar persegi panjang itu diletakkan sedemikian rupa sehingga warna-warni itu justru membuat deretan tuts itu semakin cantik. Peletakannya sangat presisi antara tuts satu dengan tuts yang lain. Meski demikian, lama-lama aku terganggu juga dengan gambar-gambar persegi panjang itu. Di kemudian hari, di usiaku yang ke-8 atau 9 aku minta bapakku menghapusnya, sehingga tuts pianoku bersih tanpa noda.

Kembali ke usiaku yang ke-5. Asik sekali bermain-main dengan piano kecil itu. Segera, lagu-lagu yang ada di buku itu bisa kuhafal. Aku mainkan berulang-ulang, hingga akhirnya bosan! Jadi aku coba mainkan lagu-lagu lain yang pernah kudengar.

Suatu hari, sekitar 2 minggu setelah aku mendapatkan piano kecil itu, sepulang dari kantor bapakku mendapati aku memainkan lagu “Garuda Pancasila”. Beliau terkejut! Lagu itu nggak ada dalam buku.

“Siapa yang mengajarkan?” tanyanya.

“Nggak ada, cari sendiri,” jawabku.

“Bisa mainkan lagu lain?”

Aku mainkan lagu lain, Satu Nusa Satu Bangsa.

Bapakku memandangku dengan pandangan yang tidak bisa aku cerna.

Hari berlanjut. Lama-lama aku bosan juga memainkan lagu itu-itu saja. Nggak banyak lagu yang aku dengar, selain lagu anak-anak yang diajarkan di TK, dan beberapa lagu wajib yang aku dengar di tivi.

Jadi aku eksplor pianoku. Seneng sekali saat menemukan bahwa kita bisa memainkan semua lagu dengan memulainya dari semua nada yang ada di sana. Misalnya, lagu Satu Nusa Satu bangsa bisa dimulai dari do, re, mi, fa, so, la, atau si. Berbeda not awalnya, berbeda juga jumlah tuts hitam yang harus ditekan. Semua lagu bahkan juga bisa dimulai dari tuts-tuts hitam. Saat itu aku belum belajar tentang tangga nada A, B, C, dan seterusnya (Boro-boro! Membaca abjad juga belum bisa…). Pelajaran tentang tangga nada baru kudapat saat SMP.

Sayangnya, aku saat itu nggak tau bahwa beberapa nada tertentu bila dimainkan bersamaan bisa membentuk akor (kalau tau kan lebih asik lagi!). Akor yang tepat akan membuat lagu menjadi sangat indah. Padahal Mozart tau ini di usianya yang kedua lho… Yang aku tau hanya: asik juga memainkan nada bersamaan secara liar. Meski bunyinya nggak karuan. Hahaha… Lumayan bisa meredam emosi!

Obsesiku pada piano nampaknya mengganggu pikiran bapakku. Beliau sepertinya ingin sekali aku bisa belajar pada orang yang tepat, tapi terbentur pada biaya.

Tidak, kami tidak miskin. Kami hidup pas-pasan, dalam artian pas butuh pas ada. 🙂 Kami –anak-anak– memiliki buku penunjang belajar yang cukup komplit, bahkan di luar yang disarankan sekolah. Kami berlangganan beberapa majalah anak. Kami mempunyai beberapa sepatu dan tas. Sebelum sepatu atau tas kami robek, kami sudah mendapatkan yang baru. Alat-alat tulis lengkap. Baju bersih dan tidak compang-camping. Ada ART di rumah yang membantu pekerjaan kami. SPP juga bayar tepat waktu. Apa lagi yang kurang?

Tapi untuk les piano? Tidak… Aku nggak pernah tega untuk minta les piano. Aku tau les piano itu mahal… Harus punya alatnya (yang harganya jelas sangat mahal), dan bulanannya juga mahal… Masih banyak hal-hal lain yang lebih penting.

Tapi nampaknya bapakku ingin berbuat sesuatu untukku. Bapakku pernah ingin leskan aku pianika, tapi dia coba cari guru nggak ketemu. Aku sangat terharu dengan usaha bapakku ini. Meskipun aku tau, aku nggak butuh les pianika. Aku bisa memainkannya dengan sangat baik.

Aku jadi nggak enak sendiri. Sungguh, aku nggak ingin neko-neko. Mengeksplor piano kecil itu dengan gayaku sendiri betul-betul sudah merupakan kebahagiaan tersendiri. Mengasikkan!

Di usia yang lebih besar (sekitar 9 tahun) aku menemukan sesuatu yang sampai sekarang aku nggak tau apa itu namanya dan mengapa bisa begitu. Begini, bila nada kita bunyikan sekuat-kuatnya kemudian kita bunyikan nada lain sekuat-kuatnya juga, pada nada kedua akan terdengar bunyi lain yang samar. Bukan hanya nada kedua itu yang terdengar, tapi suatu nada yang bukan nada itu atau nada sebelumnya. Aku menamakannya swarantara, meminjam istilah yang ada dalam pelajaran bahasa Indonesia.

Aku bahkan dulu sempat mencari, kalau nada pertama ‘ini’ dan nada kedua ‘itu’, suara yang samar itu akan bernada ‘apa’. Untuk gambarannya, coba saja ke stasiun kereta, dengarkan ding dong saat kereta mau datang atau pergi. Ada bunyi lebih samar terdengar selain “mi do re so… so do mi re…” yang memekakkan telinga itu.

Jadi syarat agar bunyi lain itu muncul adalah: nada harus dibunyikan sekuat-kuatnya. Bisa dibayangkan bagaimana ibuku terganggu saat aku asik mengeksplor itu kan? RASANYA saat itu ibuku sempat teriak dari dapur, “Niiiin… nanti pianonya rusak lho kalau digitukan…” Entahlah… Itu memori lebih dari 32 tahun yang lalu!

Oh ya, rasanya perlu kutambahkan keterangan tentang karakterku biar nggak pada salah membayangkan. Aku dulu adalah anak yang cukup “manis” (nggak petakilan, maksudnya! 😀) Kalem, cenderung pendiam. Nggak akan bicara kalau nggak di-“gong”. Meski demikian, dengan teman dekat aku tetap bisa ber-hahahihi. Jadi, kalau sampai aku menimbulkan bunyi-bunyian yang cukup keras di rumah, itu karena aku benar-benar lupa diri.

Kembali lagi ke musik. Ada lagi hal lain yang menarik. Dengan tangga nada khusus, kita bisa menjadi pengarang lagu dadakan. Entah berapa lagu yang sudah kukarang. Ribuan kayaknya! 😀 . Tangga nada ini demikian khusus, sama khususnya dengan tangga nada Debussy yang memiliki jarak sama antara satu not dengan not lainnya: satu. Yang ini jaraknya 1, 1.5, 1, 1, 1.5. Aku menyebutnya tangga nada BLEKI. Gambaran simpelnya, kita hanya boleh memainkan tuts berwarna hitam dalam tangga nada ini. Hasilnya? Taraaaaa…. Sengawur apapun kita mainnya, alunan indah bernuansa Mandarin akan terdengar. Asik, kan?! Coba saja!

Aaah, masa kecil… selalu indah untuk dikenang!

Bagi yang merasa sudah tersesat membaca sampai sini… Aku ucapkan selamat! 😁 Maaf kalau nggak ada isinya… Hadiahnya? Gelar sebagai komponis instan! Kalau mau mempraktekkan tangga nada bleki itu, siiih…

Oh ya, sebelum kalian juga tersesat mengira aku sekarang menjadi seseorang yang sangat ahli bermusik, rasanya perlu kuluruskan. Aku jauuuuuuh dari itu. Aku sangat tidak pede bermusik di depan orang. Jari gemeteran, dan tak ada lagu yang tak salah. Yeah, itu perlu kusampaikan sebelum kalian terlanjur mengidolakan aku.

[HDK]

Sumber gambar:
https://www.amazon.com/Schoenhut-Elite-Baby-Grand-Bench/dp/B000BLJ7Y8

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar