Diposkan pada Pengalaman Menyebalkan

Penipuan via Telepon

[21.03.2013]

Saat mau berangkat ke kantor jam 10 tadi, telpon di rumah berdering.

“Anak ibu jatuh di sekolah, sekarang dibawa bu Ratna ke Rumah Sakit. Lukanya parah, dia pingsan belum sadar-sadar.

“Amas? Dibawa RS mana ya Pak?”

“Belum tahu, Ibu bisa telpon bu Ratna, nomernya sekian-sekian…”

*panikmodeon*

Telpon suami, nggak diangkat-angkat. Tau-tau telpon rumah berdering lagi.

“Ibu kenapa tidak segera telpon? Ini sudah ditunggu bu Ratna… di UGD Sarjito. Dokternya sepertinya mau bicara. Karena kondisi putra Ibu parah sekali.”

Aku merasa malu, karena kok lebih memilih telpon suami sharing kepanikan daripada segera mengurus Amas. Tapi sempat pula terpikir, kenapa bukan bu Ratna sendiri yang telpon? Jadi aku telpon bu Ratna.

“Hallo…”

Suara laki-laki. Logatnya seperti orang Batak. Mungkin juga dibuat-buat seperti itu agar tidak ketahuan logat aslinya.

“Bu Ratna?”

Bagaimana aku bisa sebodoh ini? Kan jelas-jelas suara laki-laki yang menyambut…

Terus berganti suara perempuan, “iya bu…”

“Saya ibunya Amas. Bagaimana kondisi Amas?”

Kata bu Ratna, “Ibu lebih baik bicara sama dokternya. Beliau lebih tahu kondisi putra Ibu.”

“Halo, saya dokter yang merawat Anis. Putra Ibu masih pingsan. Tadi jatuh kena kepala bagian belakang. Berdasarkan pemeriksaan awal harus dilakukan tindakan operasi. Segera, tapi obatnya (atau alatnya ya? Nggak jelas -red) tidak ada di sini. Harus segera diambil di apotik. Saya butuh orangtuanya di sini. Ibu bisa segera datang ke sini? Berapa lama Ibu bisa sampai sini?”

Perhatikan, nama Amas berubah jadi Anis.

“30 menit dokter…”

“Waduh lama ya… dia harus segera dioperasi dalam waktu 10 menit”

“Terus saya harus gimana dokter”

Ini orang kok ngomongnya lama bener ya nggak to the point. Entah kenapa hatiku berangsur tenang. Dan aku kemudian berharap ini cuma penipuan.

“Gini saja… Ibu hubungi pak Dirman, dia sedang mengurus obat di apotik di depan Sarjito. No hp-nya sekian-sekian, no resep 7 B. Segera ya Bu, Karena nyawa anak Ibu tergantung alat itu.”

“Iya… iya Pak…” kali ini aku hanya pura-pura panik.

Setengah gambling, karena berpacu dengan waktu kalo berita itu benar (tapi aku lebih percaya pada hatiku), aku hubungi guru-guru sekolah Amas. Nyangkut di no HP guru kelas 2-nya dulu. Dia tidak tahu Amas bagaimana, tapi yg jelas tidak ada kehebohan di sekolah. Lega rasanya.

Selesai telpon, kulihat Ada SMS masuk:

“pasien tidak bisa kami slamatkan karna alatnya terlambat”.

Kubalas:

“Terima kasih informasinya. Semoga mendapat balasan dari Allah. Ini no asuransinya utk mengganti biaya yg sdh dikeluarkan.”

Kuberi no asuransi palsu.


Catatan: 7 tahun sebelumnya Amas pernah mengalami kejadian yang mirip seperti ini, tapi beneran terjadi. Amas jatuh dari tangga di sekolahnya dan harus dijahit dahinya di rumah sakit.

Sumber gambar:
https://www.kompasiana.com/purnawan/588fb7c95497731d2c3f73d3/begini-modus-yang-biasa-digunakan-penipu-melalui-telepon

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar