Diposkan pada Jalan-jalan, Luar Negeri, Northern Cyprus

Kapiran di Negeri Orang

[20.04.2010]

Akhirnya sampai juga di negeri yang indah ini…Kapiran? Pengalaman yang sangat tidak mengenakkan. Apalagi di negeri orang. Oh… jangan sampai ini terulang kembali.

Ini pengalaman setahun yang lalu. Tepatnya April 2009. Sebenarnya aku sudah mempersiapkan semuanya dengan sebaik-baiknya, bahkan sebelum mengirimkan artikel dan memutuskan untuk berangkat, aku sudah pikirkan masak-masak semuanya. Bagaimana kestabilan negara, bagaimana cuaca di sana, dan untuk urusan perut, kira-kira seperti apa ya makanannya? Bisa tidak perutku menerimanya? Hihihi…

Kestabilan negara? It’s okay. Meski di bawah perlindungan Turki, kondisinya cukup stabil. Cuaca? Di bulan April, tentu memasuki musim semi. Sejuklah… gak dingin-dingin amat, juga gak panas. Bagaimana dengan makanan ya? Orang-orang yang kukenal belum pada pernah ke sana. Masakannya lebih ke Eropa atau Timur Tengah ya? Masalahnya negara ini berada di dua titik temu kebudayaan. Budaya aslinya sebetulnya lebih condong ke Yunani, Eropa. Tapi sejak pendudukan Turki, budaya Turki juga merebak di sana.

Lidahku tidak pernah bermasalah dengan masakan Eropa. Makin eneg makin cocok malah. Hehehe… (Mbayangin pizza yang banyak dijual oleh penjual kue keliling… Pizza roso Jowo… aku selalu mengomel kalau makan pizza model beginian). Kalau masakan Timur Tengah… sepertinya aku gak begitu cocok. Aku gak suka kari-karian. Jadi aku (atau tepatnya kami—bersama seorang rekan dari Yogya juga) siapkan pengganjal perut untuk sekitar 1 minggu. Roti tawar dan perlengkapannya, mie, telor asin, bandeng presto, bahkan juga beras… hihihi… Satu tas khusus kusiapkan hanya untuk mengantisipasi masalah perut saja. Di dalamnya ada juga kompor kecil.

Semua sudah oke, Dua Sekawan siap berangkat… Berdasarkan rencana, kami akan dijemput oleh agen wisata sesampainya kami di Bandara Ercan, Nicosia, North Cyprus.

Masalah memang tidak muncul dari hal-hal yang sudah dipersiapkan. Saat mampir di Istanbul, kami sempat juga ngicipi masakan khas sana. Meski sebenarnya gak suka (mataku sempat juga melirik ke restoran McDonald yang kami lewati. Ah, tentu masakan di sana rasanya lebih standar bagi lidahku…) aku melakukan wisata kuliner juga. Sayang kan, sudah sampai di sana… Meski saat menikmati makanan sambil menahan rasa, dan saat gelegeken berjam-jam kemudian, rasa itu terus mengikut (saat nulis inipun aku masih bisa membayangkan rasa itu…).

Setelah perjalanan selama sekitar 33 jam (berangkat dari rumah hari Sabtu jam 5 sore, sampai sana hari Minggu jam 10 malam waktu setempat—yang lebih lambat 4 jam dari WIB), sampai juga kami di Bandara Ercan. Lelah? Tentu saja. Yang kami harapkan saat itu adalah segera sampai ke hotel, berhangat-hangat sambil leyeh-leyeh, dan kemudian tidur di tempat yang nyaman.

Jadi setelah mengambil semua bawaan, yang kami lakukan adalah “mentelengi” semua orang yang memegang kertas di depan dadanya. Siapa tahu ada tulisan nama kami, atau “Indonesia”, atau “Eastern Mediterranean University”, atau nama agen wisatanya, atau nama hotelku. Gak ada! Kami keluar, ke teras bandara. Menunggu dalam dingin.

Setengah jam berlalu. Kulihat temanku sudah mulai panik. Selama perjalanan sebelumnya dia yang memimpin. Aku belum punya pengalaman ke luar negeri sebelumnya, jadi nggak tau pos-pos mana saja yang mesti dilalui. Temanku ini sudah berkali-kali melakukan perjalanan ke luar, karena dia pernah kuliah selama 5 tahun di Jerman. Apa yang aku lakukan tinggal ngikuti dia saja.

Dalam paniknya, dia mengucapkan kata-kata, yang mungkin tanpa dia sadari terucap. Dari ucapannya itu aku sadar, sekarang saatnya aku ambil alih kendali. Dengan berpura-pura tenang, aku bilang ke dia, “kita tunggu setengah jam lagi. Bila tidak ada jemputan juga, kita berangkat sendiri ke hotel.”

Kupikir, setelah menunggu 1 jam, tentu bukan salah kita kalau mblenjani perjanjian. Satu jam itu pun sebenarnya sudah terlalu lama. Kami terlalu baik hati!

“Tapi naik apa, mbak?” tanyanya.

Aku jalan ke parkiran. Ada banyak mobil di sana. Kutemukan sebuah bis yang setengah berisi penumpang. Kulihat tujuannya: Famagusta, kota tempat konferensi yang akan kami ikuti berlangsung. Kutanyakan pada kondekturnya untuk memastikan, apakah betul bis ini akan ke Famagusta? Jawabannya membuat mataku berbinar. Betul, dan ongkosnya hanya 15 lira per orang. (1 lira kurang lebih sama dengan 0,5 euro, saat itu 1 euro=Rp15000). Cukup terjangkau untuk ukuran kantongku.

Kusampaikan pada temanku kemungkinan kami akan gunakan bis itu untuk keluar dari bandara. Tapi dia tidak setuju. Dia sampaikan masalah yang akan terjadi setelah kami sampai terminal di Famagusta: naik apa ke hotel? Mengapa tidak naik taksi saja dari bandara?

Yah… taksi! Justru itu… taksi mahal kan? Sanguku pas-pasan banget. Maklum, keberangkatan itu aku biayai sendiri. Kalau pikiran orang ngirit, tentunya lebih baik ngebis ke terminal, setelah itu dari terminal baru naik taksi ke hotel. (Ah… nampaknya aku berbakat sekali jadi backpacker…).

Tapi nampaknya pengalaman di negeri orang membuat dia lebih berhati-hati. “Kita kan nggak tau kondisi di sini, mbak. Kayaknya lebih aman naik taksi dari sini deh…”

Uh… dingin semakin menggigit. Kukenakan jaket tambahan. Untung si Bapak sempat menjejalkan jaketnya ke tas jinjingku menjelang keberangkatan kemarin.

Loket taksi sudah tutup. Saat itu hampir jam 11 malam. Meski demikian, kulihat banyak juga taksi yang parkir di situ. Aman tidak ya? Jadi kutanya pada petugas bandara, taksi mana yang kira-kira aman kami naiki. (Teringat berita-berita di Indonesia, banyak sopir taksi yang kemudian mencelakakan penumpangnya…). Mungkin saja si petugas bingung mengapa aku tanya begitu. Tapi dia tunjukkan juga salah satu taksi, “it must be safe for you. The owner is a policeman, my friend.”

Tepat setelah satu jam menunggu, akhirnya kami berangkat sendiri ke hotel tempat kami menginap, naik taksi. Kusebutkan tujuan kami: Salamis Bay Conty Hotel. Mataku tidak lepas dari papan argo. Bukan apa-apa, uang lira-ku cuma tinggal 100. Temanku bahkan sudah menghabiskan uang lira-nya saat jalan-jalan di Istanbul sebelumnya. Kami tidak mempersiapkan uang perjalanan dari bandara ke hotel secara khusus, karena kalau dijemput oleh agen wisata tadi, kami bisa bayar pakai euro. Lagipula agen tersebut akan menyertai kami selama kami berada di sana.

Jalanan lengang sekali. Hanya mobil yang kami naiki yang nampak di jalanan itu. Sekali-sekali saja kami berpapasan dengan mobil lain. Dua cewek di dalam taksi di jalanan sepi. Apalagi di sekitar situ tidak nampak adanya rumah. Hi…. Aku siapkan diriku menghadapi apapun yang terjadi. Rasanya aku masih bisa mengingat jurus-jurus yang kupelajari saat SMA dulu. Tapi orang ini gede banget! Ah… parno!

Melewati pertigaan. Wait… wait… wait… Mengapa kita belok? Bukankah arah Famagusta ke sana? (Itu kuucapkan dalam hati saja. Aku mencoba percaya pada pak supir itu, sambil mataku melirik ke papan argo: 65 lira). Sampai kapan perjalanan ini akan berakhir? (Belakangan kemudian aku tahu, Famagusta dan Salamis berada di daerah yang berbeda, meski jaraknya hanya sekitar 5 km).

Hati agak tenang ketika mulai banyak sekumpulan rumah yang tampak. Wah… sudah hampir sampai nih… Setelah kurang lebih 40 menit perjalanan, Alhamdulillah, sampai juga kami di hotel. Ongkosnya 99 lira. Nyaris saja! Kuberikan my last lira ke bapak supir taksi itu. Aku sampai lupa bilang kalau sisanya untuk tips buatnya. Saat dia beri kembalian 1 lira, aku terlongong-longong sampai-sampai duitnya jatuh. Hihihi….

Yeah… mudah-mudahan pengalaman yang tidak mengenakkan ini tidak akan terulang kembali. Mengingatnya saja rasanya sudah serem sekali.

#traveling_nina

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar