Diposkan pada Pengalaman Menyebalkan

Plagiarisme, Sebuah Pengalaman Pribadi

[23.02.2010]

Ini sebuah pengalaman pribadi. Bukan, bukan aku yang melakukannya. Aku korbannya. Ada seseorang yang demikian kesengsem dengan tesisku, sehingga ingin mengakuinya sebagai tulisannya dan mengirimkannya kemana-mana. Ndilalahnya, dua kali aku mengonanginya. Bagaimana rasanya? Sebel, jengkel, sedih, dan… SEDIKIT BANGGA!

Proses membuat tesis
Ketika membuat tesis itu, aku tidak menyangka kalau akan ada masalah setelah itu. Sama sekali tidak menyangka. Aku membuatnya dengan penuh cinta, karena pada dasarnya aku suka menulis. [Jangan dihitung berapa semester aku menyelesaikan tesisku ya… karena itu berkaitan erat dengan masalah pribadi dan kemalasanku].

Perlu waktu sekitar 3 bulan untuk mencari jurnal-jurnal acuan untuk membuat tesisku versi awal. Untuk mendapatkan sekitar 75 jurnal yang kupikir mungkin terkait dengan topik yang aku pilih, aku harus berkeliling dari satu perpustakaan ke perpustakaan lainnya. Mencari dari bendel satu ke bendel lainnya. (belum tentu bendel yang kubuka ada artikel yang aku inginkan). Naik turun tangga (terutama di perpustakaan fak. Psikologi yang saat itu terletak di lantai 4! Fiuh… Padahal sebagian besar jurnal kudapat dari situ!). Saat itu jurnal elektronik di kampusku belum seperti sekarang sih… Kalau sekarang tinggal ketik kata kunci, enter, dalam waktu 1 jam bisa dapat 60-an. Saat itu aku hamil anakku yang pertama.

Berbagai musibah datang silih berganti. Bayi yang aku lahirkan kemudian meninggal. Hubby kecelakaan (gak parah sih… tapi itu menyebabkan dia tidak bisa pakai tangan kanannya untuk beberapa bulan). Ibuku sakit, dan harus menjalani operasi. Komputerku meledak saat aku nyalakan. Sampai-sampai aku berpikir… “Eh, ada apa ini ya? Apa aku harus mundur saja?” Untung kemudian pikiran positif yang menguasaiku. “Ah, ini hanya tantangan, maju terus, pantang mundur!”

Sempat juga ganti topik, karena kupikir topik lama tidak feasible untuk peneliti berkantung cekak di Indonesia ini. Yah… naik turun perpus lagi nih… Untung beberapa variabel masih sama, sehingga jurnal-jurnal yang lama sebagian besar masih bisa dipakai.

Singkat cerita, akhirnya selesai juga tesisku. Diujikan, dan lulus. Setelah itu, tesis aku simpan rapi di rak bukuku.

Kejadian pertama
September 2005. Almamaterku mengadakan symposium nasional berkaitan dengan dies natalis. Tidak terpikir untuk mengirim naskah dari tesisku, karena kupikir tulisanku paling hanya berguna untuk memenuhi rasio doang. Gak ada indah-indahnya-lah!

Aku datang ke salah satu acara dies sehari sebelum simposium itu. Acaranya berupa seminar metode penelitian yang lumayan mahal. Aku mendaftar dengan biaya sendiri, karena bukan aku yang dikirim oleh kampusku. Di sana aku bertemu beberapa sahabatku. Salah seorang dari mereka, Mbak Mila, berhasil masuk nominasi untuk simposium itu. Kami lihat-lihat jadwal kapan dia akan tampil. Tahu-tahu mbak Mila menunjuk ke sebaris kalimat di jadwal itu.

“Lin, ini kan sama seperti judul tesismu!” serunya. Kulihat memang sangat mirip.

“Ah mbak, kali hanya kebetulan saja!” jawabku.

“Lihat dulu Lin, seberapa besar kemiripannya!” sarannya.

Dengan berat hati, kutinggalkan seminar yang mahal itu. Mbak Mila mengantarku ketemu panitia. Panitia menyambut dengan hangat. Aku diminta datang besoknya dengan membawa tesisku untuk dilihat seberapa besar kemiripannya.

Hari Sabtu, hari-H presentasi bagi nominee symposium itu. Aku datang membawa tesisku. Semua kalimat yang kutemukan sama aku beri stabillo pink. Hasilnya sungguh mengejutkan, karena sebagian besar tulisan dari The Doer (sebut saja namanya gitu) menjadi berwarna pink. Bukan karena aku keasyikan mewarnai pakai stabillo, tapi tulisannya jan plek ketiplek! Bayangkan, latar belakang sama persis (sak titik komanya). Landasan teori juga. Metode penelitian? Hanya subyek penelitian dan alat uji validitas reliabilitas yang diganti. Selebihnya plek ketiplek! Pembahasan? Angkanya tentu saja berbeda, hla wong subyeknya berbeda. Tapi kata-kata untuk membahasnya, lagi-lagi sama sak titik komanya. Simpulan? Podho! Kalau dihitung-hitung, kadar kemiripannya lebih dari 70%-lah! Lebihnya banyak loh… Kutulis segitu saja ya, karena gak tega nyebutin aslinya.

Aku jadi deg-degan. Dheleg-dheleg. Aduh… mengapa ini harus terjadi padaku? Mengapa bukan orang lain saja yang dia contek sehingga aku nggak perlu repot-repot seperti ini.

Panitia kutunjukkan hasil itu. Artikel pun didiskualifikasi. Panitia cukup halus, karena The Doer dipanggil sebelum dia presentasi. Jadi tidak banyak yang tahu kasus ini. Setelah itu ada persidangan kecil.

Komentar sahabat-sahabatku: “Kamu bodoh Lin… mestinya kamu sabar menunggu dan tidak langsung tunjukkan hasilnya ke panitia. Masuk ke ruangan dia presentasi, saat tanya jawab kamu tunjukkan kesamaan-kesamaan tulisannya dengan tesismu. Dengan begitu semua orang tahu.”

He… he… Aku tidak bodoh, aku kan baik hati!

Beberapa orang yang penting kulapori kejadian ini.

Komentar dosen pembimbingku: “Itu saya yang me-review. Saya kira punya Anda. Saya hapal sekali gaya penulisan Anda”. Padahal blind review, pada saat di-review nama penulisnya dihapus. Hwaaa… jadi tersanjung…

Saat kuceritakan komentar ini, sahabat-sahabatku mengejekku (kami memang biasa ejek-ejekan, dengan begitu dunia kami menjadi penuh WARNA), “Whe hla layak masuk nominasi, hla wong yang me-review pembimbingnya…”

Mereka tidak rela aku bangga. 😭😭😭

Komentar hubby: “Salahe dhewe kamu nggak ngirim sendiri tulisanmu di simposium itu. Kalau kamu yang ngirim kan kamu yang masuk nominasi…”

Yah…. Blaming the victim! Padahal aku berharap dia menghiburku.

Aku coba lupakan kejadian itu. Dan benar-benar lupa sampai…

Kejadian kedua
Bulan Januari 2008. Hubby pulang kantor membawa jurnal. “Nin, ini yang nyontek kamu dulu itu ya?”
Kulihat itu jurnal terbitan Pebruari 2007. Kubaca. Hla dalah! Ada tulisan yang sama seperti tesisku, dengan nama penulis The Doer (orang yang sama). Deleg-deleg aku…. Kok dia nggak kapok yo… Padahal aku sudah mencoba menghapuskan peristiwa itu dari memoriku.

Beberapa orang aku mintakan pertimbangan, karena aku bingung harus bagaimana. Yang jelas aku tidak boleh diam saja (meskipun sebenarnya kepingin).

Dosen pembimbingku aku lapori lagi, karena aku merasa, bagaimanapun tesisku jadi seperti itu karena bantuan beliau juga (dengan so whatso what-nya). Sarannya singkat, “Anda laporkan kejadian ini ke pengurus jurnalnya, minta artikelnya dicabut. Anda juga laporkan ini ke pengelola institusi tempat dia bekerja.”

Beberapa orang di institusiku juga tahu kejadian ini dan memberikan beberapa bantuan dan saran. Misalnya memfasilitasi pertemuanku dengan jurnal yang ketiban sial memuat tulisannya. Pengelola jurnal sangat senang dengan laporan ini, dan setuju untuk mencabut tulisan tersebut meskipun pada awalnya bingung juga bagaimana bentuk pencabutannya. Di edisi berikutnya ada pemberitahuan pencabutan artikel itu, mereka mengirimkan jurnal itu padaku.

Urusan dengan jurnal beres sudah. Bagaimana urusan dengan institusi? Yeah, kupikir ini adalah masalah pribadiku dengan The Doer dan institusi tempat dia bekerja. Jadi, aku tidak melibatkan kampusku lagi.

Sempat ketemu muka dengan The Doer. Dia meminta maaf atas kejadian ini. Katanya saat itu dia khilaf (khilaf bisa terjadi dua kali ya?). Aku memaafkan dia dan sudah hampir menghentikan kasus ini sampai disitu saja, andai saja dia tidak menambahkan, “tapi kan blablabla… tapi kan blablabla…” Ada beberapa alasan yang dia kemukakan untuk pembenaran tindakannya, bahwa itu tidak sepenuhnya plagiarisme. Pikirku, berarti dia tidak tahu kalau itu salah. Berarti harus ada pihak lain yang perlu menunjukkan bahwa itu tidak benar dan tidak boleh diulangi lagi.

Karena beberapa pejabat di institusinya sudah tahu adanya permasalahan ini (dia yang cerita, dengan versi dia tentu saja), aku minta ijin padanya untuk mengklarifikasikan hal ini pada dekan, ketua lembaga penelitian, dan rektor di institusinya (sopan banget ya, pake minta ijin segala…). Aku berjanji untuk hanya bercerita kronologisnya, tanpa bumbu, tanpa fitnah. Kurasa gak usah dibumbui sudah cukup pedas sih… karena buktinya kuat banget.

Jadi aku tulis surat untuk ke-3 pejabat itu. Tanpa target. Isinya pun hanya sekedar klarifikasi. Tidak ada bunyi “mohon untuk ditindak-lanjuti”. Benar-benar hanya bercerita. Aku bahkan tulis di situ bahwa sdr. The Doer sudah meminta maaf.

Dan seperti biasa, setelah surat dan bukti kukirim, aku lupakan masalah itu. Sampai suatu saat…

Ending
“Dik, nanti ketemu aku ya… ada yang ingin aku certain,” kata seorang kawan saat aku sedang diskusi bahan kuliah dengan kawan yang lain.

Ternyata dia mau bercerita kalau The Doer sudah mendapat tindakan dari institusinya. Kepengurusan pangkatnya ditunda, kesempatan promosi juga di-pending. Selain itu, The Doer juga mendapat skors untuk tidak mengajar selama 3 semester.

Dari salah seorang kawan yang juga pejabat di institusi The Doer, aku juga dapat info bahwa Lembaga Penelitian di sana mem-black list dia selama 5 tahun.

Surprise! Mengingat institusi itu tidak memberikan balasan atas surat yang aku kirim. Mengingat—berdasarkan info yang aku dapat dari sahabatnya—dia adalah anak emas sang rektor (makanya aku tidak tetapkan target apapun saat tulis surat itu).

Citra institusi itu jadi naik berlipat-lipat dimataku. Sebelumnya aku memang sudah menangkap adanya budaya untuk menolak plagiarisme di sana. Saat sahabatnya mendorongku untuk maju terus.

“Dia memang sahabatku, tapi dia harus tahu kalau itu salah. Selama ini hukuman moral dari teman-teman ternyata tidak berpengaruh padanya.”

Jadi ternyata cerita tentang kejadian pertama sudah menyebar di sana, dan teman-temannya sudah ‘menghukumnya’ secara moral. Tidak ngefek, karena setelah itu dia masih kirimkan naskah dari tesisku ke jurnal.

Seorang kawan yang bekerja di institusi yang sama dengannya namun beda fakultas bercerita, “kasus itu jadi pembicaraan hangat. Aku tahu dari email saat masih sekolah di Jerman. Memalukan sekali… Untung akhirnya ada tindakan. Kalau tidak kan yang lain bisa ikut-ikutan…”

Hikmah
Setiap kejadian pasti ada hikmahnya. Bagaimana dengan kejadian ini?

Simpel saja. Aku jadi makin pede dengan tulisanku. Paling tidak, aku sudah punya seorang penggemar yang sedemikian terobsesi dengan tulisanku. Seperti komentar Fenika sahabatku, “Dia itu terobsesi banget dengan tulisan kamu Nin… sampai-sampai pingin mengakuinya jadi tulisannya sendiri.”

Hikmah yang lain? Berkaitan dengan tugasku sebagai pengurus di jurnal milik jurusan tempatku bekerja, sejak itu kami menetapkan syarat bagi penulis yang tulisannya akan dimuat di jurnal kami, untuk mengirimkan surat pernyataan keaslian karya tulis. Bunyinya nyontho dari surat pernyataan yang ada di tesisku, kemudian dimodifikasi dikit. Yeah… ternyata aku juga terjebak plagiarisme…

Sumber gambar:

https://library.trinitycollege.edu/home/Plagiarism

Penulis:

Seorang perempuan yang sangat biasa-biasa saja yang suka menulis, kalau lagi pengen.

Tinggalkan komentar